JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Pertemuan antara Bidang Hubungan Luar Negeri (HLN) DPP Persatuan Ummat Islam (PUI) dan Bidang HLN DPN Partai Gelora Indonesia pada Jumat (1/8/2025) menjadi ruang diskusi strategis membedah perubahan peta politik luar negeri Amerika Serikat (AS) dan dampak luasnya terhadap konstelasi geopolitik global.
Ketua Bidang HLN DPP PUI, Dr. Adhe Nuansa Wibisono, memaparkan bahwa kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Donald Trump mengalami pergeseran mendasar. Fokus lama pada Global War on Terrorism (GWOT) yang mendominasi dua dekade pasca-Serangan 11 September 2001, kini digantikan oleh rivalitas strategis dengan China. “Banyak ahli Rusia di AS tersingkir dalam dua dekade terakhir, menandakan adanya pergeseran prioritas yang tidak sederhana. Ini bukan sekadar soal kebijakan, tetapi juga soal siapa yang memegang kendali narasi dan arah diplomasi,” ujarnya.
Henwira Halim, Ketua Bidang HLN DPN Partai Gelora sekaligus Staf Khusus Wakil Menteri Luar Negeri RI, menambahkan bahwa doktrin America First yang dibawa Trump membentuk ulang strategi Washington. Menurutnya, pendekatan ini menempatkan kepentingan domestik AS di atas agenda global, yang secara langsung mempengaruhi pola interaksi diplomatik mereka di kawasan Asia, Timur Tengah, dan Eropa.
“AS sekarang cenderung memilih pendekatan transaksional, mengukur setiap kebijakan luar negeri dari seberapa besar keuntungan langsung yang mereka peroleh. Ini mengubah wajah diplomasi Amerika, bahkan terhadap sekutu-sekutu tradisionalnya,” ujar Henwira. Ia menyoroti pula sektoralisme yang mengakar di tubuh foreign policy AS. Berbagai faksi dan kepentingan di dalam pemerintahan kerap menimbulkan inkonsistensi kebijakan, terutama terkait konflik internasional yang melibatkan nilai-nilai kemanusiaan.
Meski fokus pertemuan adalah pembacaan ulang geopolitik global, isu Palestina tetap menjadi benang merah yang tak terpisahkan. Henwira menilai bahwa dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel tidak hanya memperparah penderitaan rakyat Palestina, tetapi juga mengikis kredibilitas nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang selama ini menjadi citra unggulan peradaban Barat. “Kebijakan ini, pada akhirnya, akan menjadi beban moral dan politik bagi AS di mata dunia,” tegasnya.
Ia juga menyoroti momentum penting dalam opini publik global. Menurutnya, generasi muda di Barat kini mulai melihat Israel dari perspektif apartheid dan holocaust — dua istilah yang sensitif namun dianggap relevan untuk menggambarkan kondisi di Gaza. “Kesadaran ini adalah peluang strategis bagi diplomasi kemanusiaan. Kita harus mampu mengartikulasikan narasi yang kuat agar perubahan persepsi ini berbuah pada perubahan kebijakan,” ujarnya.
Dalam diskusi, Wibisono menekankan bahwa PUI memandang penting kerja sama lintas entitas — antara organisasi masyarakat dan partai politik — untuk menggalang dukungan global terhadap Palestina. “Kerja sama ini tidak hanya simbolik. Kita ingin mengkonsolidasikan jaringan yang bisa mendorong langkah nyata, baik melalui penggalangan dana maupun edukasi publik,” jelasnya.
Pembahasan juga melebar pada posisi China dalam lanskap geopolitik terkini. Meski berambisi menjadi kekuatan adidaya pengganti AS, Henwira menilai China masih dibayangi insecurity dalam politik luar negerinya. “China memang berani menantang dominasi AS di banyak sektor, tetapi masih mencari keseimbangan antara kepentingan globalnya dan stabilitas domestik,” paparnya.
Pertemuan diakhiri dengan kesepakatan kedua pihak untuk memperdalam kolaborasi, memanfaatkan momentum geopolitik yang sedang berlangsung untuk memperkuat suara Indonesia di forum internasional, dan membangun kampanye global menuntut keadilan bagi Palestina. Penukaran cenderamata menjadi simbol komitmen bahwa diskusi ini akan ditindaklanjuti dengan aksi nyata.
“Isu Palestina bukan semata-mata masalah regional. Ini adalah ujian nilai kemanusiaan universal yang harus kita jawab bersama, tanpa melihat perbedaan ideologi maupun batas negara,” pungkas Henwira (RED).
Discussion about this post