JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Dari tanah pesisir yang sunyi di Banggai, tempat ombak mengajari manusia tentang kesabaran dan angin laut mengabarkan cerita tentang kesultanan tua, seorang anak pulau tumbuh dan besar di sana. Phirman Reza. Ia lahir dan besar di ujung timur Sulawesi Tengah, di rumah yang jaraknya hanya selemparan batu dari pantai. Latar belakangnya sederhana, jauh dari gemerlap birokrasi atau dinasti politik. Ayahnya, Ahmad Abdul Razak, adalah petani dan pedagang kecil. Ibunya, Saadiah Hamid, ibu rumah tangga yang setia menjaga api dapur dan semangat keluarga.
“Kami anak pesisir, biasa dengan laut, dengan perahu, dan dengan hidup yang bersahaja,” tuturnya.
Namun, darah politik ternyata telah lama mengalir dalam garis keturunannya. Sang kakek, Abdul Majid Abbas -yang akrab dipanggil Tete Hadi – adalah tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Kabupaten Banggai. Ia bukan hanya sekadar tokoh lokal, tapi turut menjadi bagian dari sembilan tokoh pemekaran Kabupaten Banggai Kepulauan dan namanya kerap disebut tiap kali ulang tahun kabupaten. Lelaki tua itu tidak punya anak kandung, dan sang cucu yang kini jadi sosok yang redaksi angkat dalam tulisan ini, dibesarkan dalam rumah yang juga menampung cita-cita politik dari generasi lampau.
Ia masih mengingat dengan jelas aroma tanah kampung ketika mengikuti kakeknya, Tete Hadi, kampanye Partai Persatuan Pembangunan pada 1999, berkeliling ke desa-desa seperti ke Desa Kendek dan Desa Lokotoy.
“Tahun 1999, saya sudah ikut kampanye. Saya melihat sendiri bagaimana politik menjadi panggung besar rakyat.”kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
Namun justru dari sana pula ia melihat daya tarik kampanye Golkar yang monumental. Panggung besar, artis ibu kota, musik rakyat, dan gelombang massa yang menyatu. Politik, baginya, adalah panggung di mana ide, massa, dan sejarah saling bersilangan.
“Kalau kampanye Golkar datang, itu seperti pesta. Rakyat datang bukan cuma karena partai, tapi karena ada hiburan, ada musik, ada panggung. Politik jadi meriah. Itu pengalaman pertama melihat bahwa politik bisa menyatukan banyak kepala dalam satu ruang,”katanya.
Masa remajanya digembleng dalam Pelajar Islam Indonesia (PII), organisasi yang mengajarinya tentang kedisiplinan, jaringan, dan idealisme. Ia menjadi Ketua PII Kabupaten Banggai Kepulauan saat masih duduk di bangku SMA. Bersama rekan-rekannya, ia menyusuri sekolah-sekolah di berbagai pulau untuk mengadakan pesantren kilat. Pernah suatu malam, karena sebuah kegiatan renungan di dekat kuburan, mereka dituduh aliran sesat. Ia datang ke lokasi dan berdebat dalam forum kecamatan dengan kepala desa dan aparat, menjelaskan bahwa PII bukan sekadar organisasi pelajar, melainkan ruang kaderisasi elite umat. Argumentasinya kala itu disambut dengan heran dan takjub, ketika ia menyebut nama Yusuf Kalla sebagai salah satu alumnus PII.
Setamat SMA, ia melanjutkan studi ke Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar. Di kota ini, ia bersentuhan dengan organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan mulai meniti jejak organisatoris lebih serius. Ia menjadi Ketua Komisariat KAMMI dua periode, lalu melangkah ke level kota sebagai Ketua KAMMI Cabang Makassar. Ketika kepengurusan wilayah Sulawesi Selatan dan Barat mengalami kevakuman, ia ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (PLT), memimpin hingga pelaksanaan Muktamar KAMMI.
Perjalanan itu membawanya ke Jakarta. Di pusat pusaran kekuasaan nasional, ia duduk sebagai Kepala Bidang Sosial Masyarakat Pengurus Pusat KAMMI periode 2015–2017, lalu menjadi Sekretaris Jenderal Periode 2017–2019, dan anggota Majelis Pertimbangan Pusat setelahnya. Di antara muktamar dan pengkaderan, ia mengenal banyak tokoh. Salah satunya adalah Bahlil Lahadalia, yang ketika itu masih menjabat Ketua Umum HIPMI. Mereka bersua pertama kali dalam acara Muktamar KAMMI di Medan, dan sejak itu hubungan mereka mengalir hangat, sebagai sesama alumni gerakan mahasiswa Islam.
Namun, jalannya ke politik praktis bukan sekadar hasil hubungan personal. Ia pernah menjadi mahasiswa dari Sekolah Kepemimpinan Politik Bangsa (SKPB) Akbar Tanjung Institute yang khusus mendidik kader-kader organisasi Cipayung. Di sanalah ia menemukan pandangan baru: bahwa politik bukan sekadar urusan jabatan, tapi cara mengabdi secara struktural. Bang Akbar, sebagai mentor, menyampaikan dengan gamblang: “Kalian harus masuk ke politik. Kalau bisa, ke Golkar.”
Baginya, Golkar bukan partai tanpa sejarah. Justru sebaliknya. Ia menilai, tanpa Golkar dan Soeharto, barangkali KAMMI pun tidak lahir. Maka, bagi dirinya, bergabung ke Golkar adalah bagian dari rekonsiliasi sejarah. Sebuah langkah berdamai dengan masa lalu dan mengarungi masa depan.
Keputusannya memilih Golkar juga didasari refleksi politik panjang. Ia pernah berbeda pandangan dengan sebagian besar teman sejawatnya di KAMMI, ketika mendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Saat mayoritas alumni lebih condong ke kubu Prabowo, ia tetap pada keyakinannya. Bagi dia, pilihan politik bukan urusan akidah, tapi soal ijtihad. Ia menyebut istilah “siyasah syar’iyyah”, bahwa setiap keputusan politik adalah hasil olah pikir dan pembacaan konteks, bukan hukum absolut yang membelah langit dan bumi.
Dalam perjalanannya, ia juga menolak pembacaan politik yang hitam-putih. Ia pernah mengalami bagaimana para seniornya di Makassar justru mendukung calon gubernur yang bukan petahana, Syahrul Yasin Limpo, yang kala itu dinilai memiliki isu negatif dalam keislaman. Padahal mayoritas organisasi Cipayung dan ormas Islam memilih mendukung petahana. Tapi seniornya berani mengambil langkah berbeda, dan ketika Syahrul menang, KAMMI menjadi simbol rekonsiliasi dan jembatan bagi kekuatan Islam di pemerintahan. Dari sana, ia belajar bahwa berpolitik butuh keberanian membaca arah angin dan mengambil risiko yang tidak populer.
Kini, ketika ia menapakkan kaki di Partai Golkar, ia membawa warisan dari PII, KAMMI, dan sejarah panjang aktivisme mahasiswa. Ia percaya, Golkar adalah partai yang matang, punya infrastruktur kuat, dan mampu menampung ide-ide besar tentang kebangsaan, kebijakan publik, serta pemberdayaan masyarakat.
Ia juga menyadari bahwa terlalu lama organisasi-organisasi mahasiswa Islam terjebak dalam satu-dua partai politik saja. Ia ingin membuktikan bahwa kader-kader terbaik dari KAMI dan PII bisa berkiprah di partai lain, termasuk Golkar. Dalam benaknya, keberanian memasuki partai kuning bukanlah pengkhianatan, melainkan penguatan jalan perjuangan.
“Sudah saatnya kita berdamai dengan sejarah. Sudah waktunya fobia Orde Baru itu kita akhiri. Golkar kini adalah rumah yang bisa diwarnai, bukan dikutuki,”tuturnya.
Ketika ditanya apa harapannya terhadap Golkar, ia menjawab tegas: “Saya ingin Golkar menjadi partai yang membuka ruang bagi aktivis muda. Jangan hanya dipakai untuk elektoral, tapi juga dipupuk untuk jadi pemikir kebangsaan. Golkar harus punya ruang kaderisasi yang hidup.”
Bersama tokoh-tokoh muda eks organisasi Cipayung, ia melihat ada ruang untuk menghidupkan kembali semangat gerakan dalam kanal politik yang nyata. Baginya, kerja politik bukan tentang akumulasi kekuasaan, tapi tentang regenerasi gagasan dan distribusi pengaruh. Maka ia masuk, bukan untuk menjadi penumpang diam, tapi menjadi bagian dari penulis sejarah baru.
Dan seperti air laut yang mengajarinya keteguhan sejak kecil, ia kini melangkah dalam samudra politik nasional dengan tenang, namun tak pernah kehilangan arah. Ia tahu: siapa yang pernah mencintai kampung halaman dengan jujur, tidak akan khianat pada cita-cita republik (RED).
Discussion about this post