JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Jakarta menyimpan banyak wajah, tapi hari menjelang maghrib itu ia menampakkan wajahnya yang paling hening. Di langit, lampu-lampu kota mulai bersinar pelan, menunggu pertandingan final Piala AFF U23 antara Indonesia dan Vietnam yang akan segera dimulai dalam hitungan jam. Namun, di sebuah sudut di Bilangan Menteng Jakarta, tepatnya di Sekretariat AMPI Media Centre, tak ada riuh terompet atau hiruk-pikuk layar tancap. Yang ada hanya satu pertemuan—diam-diam, nyaris tak bernama, tapi justru menyimpan gema panjang dari sebuah perjalanan.
Di ruang yang ditempeli poster-poster kepemudaan dan aroma kopi yang menggantung di udara, seorang lelaki duduk tenang di kursi besi berwarna hitam berlapis busa tipis. Tubuhnya tegap, kira-kira setinggi 170-an sentimeter. Kulitnya sawo matang, netral seperti tanah desa yang tak banyak menuntut. Sepasang kacamata bertengger di wajahnya, dan dari balik lensa itu, sepasang mata menyimpan lebih dari sekadar pandangan. Ia menyimpan jalan panjang yang sunyi, sunyi tapi tidak menyerah.
Namanya Ari Sutrisno. Menjelang maghrib itu, ia tidak datang untuk memberi pidato atau mengangkat gelas kopi dalam selebrasi. Ia datang sebagai seorang anak desa yang tumbuh dari keterbatasan, memeluk Buddha dalam sepi, dan perlahan menjejakkan kaki ke panggung politik nasional dengan bergabung ke Partai olkar bersama 150-an aktivis Cipayung lainnya. Pertemuan kami seperti mendengar petikan biola dalam ruang kosong—ada kesederhanaan, ada kedalaman, dan ada getar pelan yang tak bisa dilupakan begitu saja.
Ia lahir pada 2 Februari 1993 di Kaligarang, sebuah dusun di Jepara yang lebih dikenal sebagai kota ukir. Tapi Ari bukan pahatan dari kayu trembesi yang indah, ia lebih mirip sisa potongan yang tak pernah dipamerkan di galeri, namun tetap punya bentuk, punya nilai.
“Saya anak buruh mebel,” katanya lirih, seakan tak ingin kesedihannya terdengar seperti keluhan. Ibunya ikut panen jengkol, kadang rambutan. Mereka bukan pemilik ladang. Mereka sekadar menumpang hidup dari musim dan kemurahan alam.
Tahun 2008, saat masih belia dan baru menamatkan SMP Negeri 1 Keling, Ari dikirim ke Jakarta. Bukan karena diusir, bukan pula karena dibuang. Melainkan ‘diungsikan’, begitu ia menyebutnya. Sebuah langkah besar bagi bocah yang belum terbiasa melihat gedung menjulang. Ia dititipkan di asrama Buddhis, lalu bersekolah di SMA Tri Ratna Jakarta, hidup dalam keteraturan dan batas yang ketat. Tapi di situ pula ia mengenal bahwa di balik sunyi, ada ruang untuk tumbuh.
Dulu, ia pendiam. Teramat pendiam. Dunia baginya adalah suara-suara yang terlalu ramai, dan ia lebih suka bersembunyi di dalam kepalanya sendiri.
“Kalau ditanya, saya cuma menjawab seperlunya,” ucapnya mengenang.
Tapi hidup, seperti di Jakarta, tidak memberi ruang bagi yang tak mau bicara. Ia mulai belajar menyapa, mulai belajar bicara. Di Tri Ratna, ia bergabung dalam Himpunan Pelajar Buddhis Jakarta dan sempat mencalonkan diri sebagai ketua dan mengalami kekalahan.
Kekalahan itu bukan luka. Ia justru menjadi pintu bagi pertanyaan-pertanyaan mendalam: siapa dirinya? Apa artinya menjadi Buddhis di tengah minoritas yang sendiri? Di Jakarta, Buddhis identik dengan Tionghoa. Maka ketika Ari datang dengan logat Jawa, kulit sawo matang, dan wajah ndeso, pertanyaan pun muncul: “Kamu Buddhis? Dari mana?” “Asli Jawa,” jawabnya selalu, tenang. Tak ada embel-embel keturunan. Tak ada garis silsilah yang rumit. Ia Buddhis karena lahir dari rahim yang memeluk Buddha, meski darahnya juga mengalirkan Islam, Kristen, dan Katolik dari sanak saudara yang beragam.
Di kampung halamannya, ia tumbuh sebagai satu-satunya penganut Buddha di tengah ratusan keluarga Muslim. Tapi tak ada benturan. Saat sang kakak meninggal karena COVID-19 pada 2020, halaman rumah penuh oleh tetangga-tetangga Muslim yang datang berdoa dan berbagi air mata. “Itulah Jawa,” gumamnya pelan, “berbeda, tapi tak pernah bermusuhan.”
Sang kakak bukan orang tua kandung, tapi menjadi ayah, ibu, dan pelindung. Dari gaji kecilnya sebagai guru, ia membiayai Ari sampai kuliah. Ketika ia tiada, Ari limbung, tapi tak roboh. Ia terus berjalan, kuliah sambil bekerja. Sempat jadi front office di Sinar Mas, di situlah ia dilatih bicara. Setiap tamu adalah latihan. Setiap sapaan adalah pelajaran.
Lalu dunia politik mahasiswa pun datang. Tak disambut, tapi juga tak ditolak. Ia masuk dalam Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMABUDHI). Perlahan karier organisasinya merangkak naik. Bukan karena gimik, bukan karena jargon, tapi karena kerja sunyi. Tahun 2018, ia mencalonkan diri sebagai Ketua Umum dalam Kongres X HIKMABUDHI yang dilaksanakan di Pontianak, Kalimantan Barat tahun 2018. Dari lima calon, tinggal tiga. Dan ia menang.
“Anak kampung, menang di kongres nasional. Saya kira itu mukjizat kecil dalam hidup saya,”kenangnya.
Setelah masa jabatan berakhir, ia mencoba berwirausaha. Online shop dijalankan, sambil tetap menjalin komunikasi dengan aktivis-aktivis Cipayung lintas organisasi. Dari situ ia diajak masuk dalam sebuah partai politik, bahkan sempat dicalonkan menjadi Calon Anggota Legislatif di Jepara. Tapi keterlibatannya tak dalam. Ia tidak sepenuhnya tenggelam dalam partai itu.
“Saya hanya menjaga eksistensi kartu anggota,”ungkapnya.
Dan lalu, seperti perahu kecil yang akhirnya tiba di dermaga, Ari bertemu dengan Partai Golkar. Di sanalah ia merasa menemukan frekuensi. Ada Arief, mantan Ketua Umum PB HMI, ada Bahlil, Ketua Umum yang dulunya aktivis, bukan bangsawan politik.
“Di Golkar, saya lihat keberanian untuk berubah. Tak ada syarat istimewa selain loyalitas pada partai dan kerja-kerja politik untuk membesarkan parta,”katanya.
Ia tak naif. Ia tahu betul citra Golkar di masa lalu. Ia mendengar sindiran tentang aktivis Cipayung yang ‘pulang ke Orde Baru.’ Tapi baginya, partai adalah alat. Dan alat yang berubah bisa digunakan untuk memperjuangkan keadilan.
“Kami aktivis memang biasa turun ke jalan. Tapi kalau tak masuk partai, suara kami akan hilang setelah selesai orasi,”ujarnya.
Ari ingin Cipayung tak takut politik. Ia ingin menunjukkan bahwa seorang Buddhis dari desa, dari rahim minoritas, dari tubuh yang dulu diam dan tersembunyi pun bisa berdiri dan bicara di antara para pengambil keputusan. Ia ingin membuktikan bahwa kesederhanaan bukan kekurangan, melainkan fondasi.
Malam makin larut. Di layar TV ruang sebelah, timnas Indonesia bersiap-siap melawan Vietnam. Tapi dalam ruang kecil di dekat kolam renang itu, perbincangan kami adalah tentang pertandingan yang lebih besar: pertandingan melawan sunyi, melawan rasa kecil, melawan prasangka.
Dan Ari Sutrisno, dengan mata yang bersinar di balik kacamata tipisnya, telah mencetak satu gol dalam hidupnya. Gol yang tak dirayakan dengan yel-yel atau confetti, tapi cukup dengan senyum kecil dan satu kalimat, “Saya bukan siapa-siapa, tapi saya tahu jalan yang harus saya tempuh di Partai Golkar,”pungkasnya (RED).
Discussion about this post