JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Suara itu muncul dari ujung seberang digital—parau tapi penuh semangat. Dalam setiap jeda dan helaan nafasnya, seolah tersimpan kisah panjang tentang akar, tanah, dan perjuangan yang tak mudah ditebak. Kami tak pernah bersua muka, tak sempat bertegur sapa secara langsung, tapi lewat WhatsApp dan berlembar-lembar Voice Note, Kaharuddin HSNDM menuturkan hidupnya dengan kejujuran yang mengalir seperti sungai tua di Kuala Enok, tempat ia dibesarkan. Di balik nama panjang dan uniknya itu—yang adalah singkatan dari Hasanuddin Dying Makita—terbentang riwayat yang seperti ditulis oleh angin, hujan, dan tempurung kelapa yang hangus terbakar.
Kaharuddin lahir di Bone, Sulawesi Selatan, tapi bukan di sana ia tumbuh. Seperti kelapa yang jatuh jauh dari pohonnya, ia tumbuh di Kuala Enok, Indragiri Hilir, Riau, sebuah daerah muara yang dilekati tanah, laut, dan aroma asin yang kerap mengendap dalam kenangan. Ibunya orang Bone. Ayahnya pun demikian. Tapi nasib membawa keluarga kecil mereka menetap di tanah rantau, menyatu dengan para perintis Bugis yang sudah lama membuka kawasan itu sejak 1907. Ia tumbuh di antara panggung-panggung rumah kayu, suara air yang tak pernah lelah mengalir, dan kesunyian kampung yang kadang diselingi tawa anak-anak membelah kelapa.
“Ayahku petani kelapa,” ucapnya dalam satu Voice Note berdurasi hampir empat menit, dengan tawa kecil yang seolah ingin menyembunyikan betapa kerasnya hidup masa kecilnya. Ia menggambarkan proses membuka sabut, membelah kelapa, memanggangnya di langkau—semacam dapur terbuka di kebun. Indomie yang dimasak pakai tempurung pun menjadi kenangan manis, seperti ritual kecil anak-anak kampung yang menemukan kehangatan dalam keterbatasan.
Di bangku Madrasah Ibtidaiyah YPI Kuala Enok, Kahar mulai menapaki jalur akademik dan organisasi. Pramuka menjadi ruang awal pembentuk mentalitasnya. Ia belajar tentang semangat, kedisiplinan, dan keteguhan hati. Tahun demi tahun, ia langkahi sebagai siswa yang selalu masuk jajaran lima besar. Di MTs, ia bukan sekadar siswa berprestasi, tapi juga Ketua OSIS. Kiprahnya terus berlanjut hingga MA Negeri Kuala Enok, di mana ia kembali memimpin sebagai Ketua OSIS dan Wakil Ketua Dewan Ambalan Pramuka.
Namun, kisahnya tak hanya tentang sekadar aktif. Dalam setiap aktivitasnya, ada kegigihan menolak diam. Bahkan ketika ia gagal dalam pencalonan Ketua OSIS di kelas 10 karena melawan senior, ia tak gentar. Ia maju lagi di kelas 11—dan menang. Kegagalan baginya bukan jurang, melainkan jembatan. Selepas madrasah aliyah, ia pun memutuskan kuliah. Menapaki daratan menuju Pekanbaru adalah petualangan tersendiri. Ia tak biasa naik mobil. Jalan darat baginya adalah jalan asing yang tak ramah. Namun di sanalah ia belajar bertahan. Bersama sepupunya, ia menapaki perantauan—bertaruh untuk masa depan.
“Aku ambil jurusan matematika karena aku suka gurunya,” katanya polos, tapi penuh keyakinan. Padahal banyak yang menyarankannya untuk kuliah hukum, jadi pengacara, karena kecakapannya dalam berbicara dan memimpin. Tapi ia memilih dengan hati, bukan hanya pertimbangan karier.
Di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau, langit perjuangannya kian lapang. Ia menjadi Ketua Angkatan, lalu masuk himpunan jurusan Himaska, hingga akhirnya didapuk sebagai Bupati Mahasiswa—sebutan untuk ketua himpunan jurusan. Tak berhenti di situ, ia pun menjadi Gubernur Mahasiswa FMIPA, dan akhirnya menembus posisi tertinggi sebagai Presiden Mahasiswa Universitas Riau periode 2021–2022.
Pertumbuhan Kaharuddin ibarat batang kelapa: menjulang ke atas, tapi akarnya tertancap kuat di bumi. Dalam organisasi, ia bukan hanya bergerak, tapi juga membangun ekosistem kaderisasi. Ia percaya bahwa aktivisme kampus tak seharusnya mengorbankan akademik. Maka, ketika akhirnya ia menuntaskan kuliahnya setelah 5 tahun 11 bulan, ia tak menyesal. Ia tak melihat waktu, melainkan nilai dan dampak.
Satu babak penting dalam sejarah aktivismenya terjadi pada 11 April 2022. Kala itu, ia memimpin demonstrasi besar menolak wacana presiden tiga periode. Aksinya menggema ke seluruh negeri, hingga ia diundang ke acara televisi nasional. Hotman Paris bahkan mempertanyakan penampilannya: “Kamu ini mirip aktivis?” Tapi dengan tenang dan lantang, ia menjawab, “Kami besar di jalanan.”
Namanya sempat viral. Bahkan ucapannya yang menyebut “Orde Baru lebih baik dari era Jokowi” menimbulkan kontroversi. Ia kemudian meluruskan: yang ia maksud adalah kesenjangan ekonomi, bukan kebebasan politik. “Itu kepleset logika yang diseret oleh adrenalin,” katanya saat mengirimkan Voice Note lanjutan.
Namun langkahnya tak hanya menapak jalan sunyi di pinggiran kampung dan lorong-lorong politik mahasiswa. Di balik raut tenangnya, Kaharuddin menyimpan api: api keadilan yang menyala dari dalam dirinya. Ia tak pernah bisa tinggal diam ketika melihat ketimpangan, terutama saat yang dirugikan adalah mereka yang tak berdaya, mereka yang seringkali dibungkam hanya karena tak punya nama besar atau kuasa.
Di Universitas Riau, selain menjabat sebagai Presiden Masjid Sobib, ia juga aktif dalam Satuan Tugas Penjagaan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Sebuah peran yang tidak hanya membutuhkan keberanian, tetapi juga kepekaan. Kepekaan untuk mendengar yang tak bersuara, dan keberanian untuk menyuarakan yang dibungkam.
Kala itu, sebuah kasus pelecehan seksual mencuat di lingkungan kampus. Pelakunya bukan orang sembarangan, melainkan seorang dekan, dan korbannya adalah mahasiswi yang sedang melakukan bimbingan skripsi. Kasus itu mengguncang. Tak hanya kampus, tapi juga jagat media nasional. Ketika banyak pihak memilih diam demi kenyamanan struktural, Kaharuddin justru berdiri paling depan. Ia tak hanya bersuara, tapi juga mengorganisasi perlawanan, mengadvokasi korban, dan membuka ruang aman untuk suara-suara yang selama ini tenggelam dalam lorong birokrasi kampus.
Waktu itu, kenang Kaharuddin, gerakan mahasiswa di kampus seperti menemukan bahan bakarnya kembali. Tak hanya berhenti pada unjuk rasa atau poster-poster dinding, mereka turun langsung ke substansi: mendampingi korban, melobi rektorat, hingga membawa isu ini ke kementerian. Peran Kaharuddin pun bertambah. Ia ditunjuk menjadi Ketua Bidang Perlindungan Saksi dan Korban, posisi yang mempertemukannya dengan kenyataan-kenyataan pahit yang selama ini tertutup rapat. Ia tak hanya memimpin, tapi juga mendengarkan—sesuatu yang sering dilupakan banyak aktivis muda. Dalam ruang-ruang sunyi tempat korban berkisah, Kaharuddin hadir bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai teman seperjuangan.
“Kalau tidak ada yang pasang badan, sistem ini akan terus membungkam korban,” ucapnya dalam salah satu Voice Note yang terekam dengan lirih namun tegas.
Puncaknya adalah saat ia bersama timnya, termasuk pihak rektorat, mengadvokasikan langsung kasus ini ke Kementerian Pendidikan. Di titik itu, Kaharuddin tak hanya menjadi aktivis lokal, tapi juga bagian dari gerakan mahasiswa nasional yang memperjuangkan reformasi struktural di tubuh pendidikan tinggi.
Ia memimpin dua medan sekaligus: di kampus dan di panggung nasional. Bagi Kaharuddin, gerakan tidak boleh kehilangan kedalaman etisnya. Advokasi tidak semata-mata soal jargon, tetapi keberanian untuk tetap berdiri saat semua orang mencari aman.
Dari pengalamannya ini, ia belajar satu hal penting: politik tanpa empati akan melahirkan kekuasaan tanpa makna. Ia mulai menyadari bahwa perjuangan membela korban pelecehan bukan sekadar respons terhadap insiden, melainkan bagian dari narasi panjang soal bagaimana kekuasaan bekerja dan siapa yang sering dilupakannya. Lepas dari kursi Presiden Mahasiswa, Kaharuddin kembali menulis dirinya di lembar sejarah organisasi nasional. Ia menjadi Ketua Umum ELMIPA—Ikatan Lembaga Mahasiswa MIPA se-Indonesia. Tak lama setelahnya, ia pun menatap pemilu mahasiswa tingkat universitas dan kembali menang.
Kehidupan politik pun mulai mengetuk-ngetuk pintu batinnya. “Kenapa saya memilih Golkar?” tanya itu ia jawab panjang lebar. Golkar, menurutnya, adalah partai yang stabil, punya ideologi pembangunan, dan dekat dengan rakyat, khususnya di kampung-kampung seperti Kuala Enok. Ia pun terinspirasi oleh sosok Bahlil Lahadalia, yang meniti dari bawah, dari kampung, hingga menjadi menteri dan kini Ketua Umum Partai Golkar.
“Saya juga anak kampung. Kalau Bahlil bisa, kenapa tidak?” gumamnya dalam rekaman yang suaranya sempat terganggu deru angin.
Ia pun menyebut satu per satu tokoh Golkar yang baginya inspiratif: Syamsuar, Yuliisman, dan para senior Sulawesi Selatan yang menyampaikan bahwa “Golkar itu rumah besar orang Bugis dan Marhen Saudagar.” Di sana, ia merasa cocok, seperti merasa pulang ke rumah.
Kini, ia menetap di Jakarta. Merantau bukan untuk melupakan akar, tapi justru merawatnya. Ia ingin membawa suara kampung ke panggung nasional. Ingin membawa aroma kelapa dari Kuala Enok ke ruang-ruang parlemen. Ingin menunjukkan bahwa pemuda dari rumah panggung dan tempurung kelapa bisa berdiri sejajar dengan siapa pun di Senayan.
Dalam WhatsApp terakhirnya, ia menutup dengan kalimat lirih: “Saya siap berproses dari nol. Saya percaya tangga tidak dibangun dari atas.”
Dan memang, Kaharuddin bukanlah cerita tentang kejutan. Ia adalah cerita tentang konsistensi. Tentang seorang anak petani kelapa yang memikul nasib, menolak takdir instan, dan menulis hidupnya seperti angka-angka dalam rumus matematika: presisi, teguh, dan penuh makna (RED).
Discussion about this post