JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) menyampaikan keprihatinan serius atas proses penyusunan Buku Sejarah Indonesia Tahun 2025 yang dianggap tidak transparan, terburu-buru, dan mengarah pada bentuk penulisan sejarah yang rawan dijadikan alat politik. Hal ini disampaikan AAI sebagai tanggapan atas undangan “Diskusi Publik” yang akan diselenggarakan pada 25 Juli 2025 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Undangan tersebut, yang diterima AAI pada 22 Juli 2025 dan ditandatangani oleh Direktur Sejarah dan Permuseuman Kementerian Kebudayaan, Prof. Dr. Agus Mulyana, M.Hum., menyebutkan bahwa diskusi bertujuan memperkaya khazanah sejarah nasional di tengah perubahan global. Namun, menurut AAI, substansi “diskusi publik” ini sangat dipertanyakan karena draf buku tidak disertakan maupun dibagikan kepada peserta.
“Diskusi tanpa draf bukan dialog ilmiah, melainkan sosialisasi sepihak,” tulis AAI dalam pernyataan resmi yang dipublikasikan melalui media sosial mereka. AAI menilai forum tersebut berpotensi disalahartikan sebagai bentuk legitimasi akademik terhadap isi buku yang belum terbuka kepada publik maupun komunitas ilmiah.
AAI menyebut format penyusunan buku ini sarat dengan pendekatan tertutup dan tidak partisipatif. Kekhawatiran utama mereka adalah kecenderungan untuk menghadirkan versi tunggal sejarah nasional yang bisa menjadi “Official History” narasi resmi negara yang digunakan untuk membungkam kritik, menutupi kebenaran, atau bahkan mengkriminalisasi ingatan kolektif alternatif.
Selain mengkritik prosesnya, AAI juga menyoroti waktu penyusunan yang dinilai tidak masuk akal secara akademik: hanya sekitar delapan bulan hingga 17 Agustus 2025 tanpa melalui proses peer-review terbuka. Hal ini dinilai sangat berisiko menghasilkan karya sejarah yang rentan kesalahan dan tidak kokoh secara metodologis.
AAI juga menilai bahwa buku ini bisa saja melewati atau menyelewengkan fakta-fakta penting dalam sejarah kontemporer Indonesia, seperti reformasi 1998, konflik sosial, kekerasan negara, atau narasi daerah yang selama ini termarginalkan. Jika proyek ini dijadikan dasar pengajaran dan rujukan tunggal di lembaga pendidikan, maka akan terbentuk generasi yang dicekoki versi sejarah yang seragam dan steril dari kritik.
Karena itu, AAI menolak jika hasil akhir buku ini dijadikan satu-satunya acuan resmi sejarah nasional, apalagi digunakan untuk melarang kajian atau versi sejarah lainnya. Mereka menyerukan agar penulisan sejarah dilakukan melalui pendekatan inklusif, kolaboratif, terbuka terhadap kritik, dan menjunjung tinggi pluralitas perspektif (RED).
Discussion about this post