JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Cikini sore itu terasa bersahabat. Hujan belum jatuh, tetapi langit menyimpan keraguan. Di sebuah sudut Sekretariat DPD Partai Golkar DKI Jakarta, di antara tumpukan dokumen, poster lama, dan jejak-jejak sejarah politik, kami duduk bersama seorang lelaki yang tenang, berbicara perlahan namun penuh keyakinan: Robaytullah Kusuma Jaya, mantan Ketua Umum DPP GMNI 2017–2019. Sosoknya tidak ingin terlalu menonjol, tetapi kisah hidupnya bercerita tentang arah yang dibentuk oleh keyakinan, bukan kebetulan. Ia datang bukan untuk nostalgia, melainkan menjelaskan kenapa jalan ideologisnya justru sampai ke rumah besar beringin bersama dengan sebarisan aktivis Cipayung lainnya yang log in ke Partai Golkar .
Robaytullah tak pernah menyebut Sumenep hanya sebagai tempat lahir. Ia menyebutnya sebagai asal yang membentuk laku hidup. Di kota kecil itulah ia mengenal arti “mengakar”. Ia tumbuh dalam dekapan pesantren dan tanah yang menyimpan aroma kesederhanaan. Ia tak hanya sekolah, tapi juga mondok di Pondok Pesantren Raudhotut Tholibin, Kolor, Sumenep, tempat kitab kuning tak sekadar dibaca, tapi dimaknai sebagai panduan hidup.
Dari sana ia menyusuri jalan menuju Pare, Kediri, desa kecil yang ramai oleh mimpi besar anak-anak muda tentang dunia global. Di sana ia belajar bahasa Inggris bukan semata untuk bisa berbicara, tapi agar mampu berdialog dengan dunia yang lebih luas. Di titik itu, pemahaman Robaytullah tentang batas mulai retak—desa dan dunia, kitab dan internet, pesantren dan modernitas—semua bisa hidup berdampingan dalam dirinya.
Dari Pare ia menuju Malang, dan di SMA Negeri 3 kota itu, ia mengenal pluralitas secara nyata. Tak ada lagi sekat-sekat homogenitas yang dulu melindunginya. Di Malang, ia belajar bahwa ide dan identitas bisa bertabrakan sekaligus menyatu. Ia bertemu teman dari berbagai kota, pulau, bahkan kepercayaan. Di sinilah ia mulai merumuskan bahwa keyakinan ideologis bukan sesuatu yang diwariskan, melainkan dipilih secara sadar.
Pilihan itu menjadi nyata ketika ia masuk Universitas Brawijaya. Banyak yang mengira ia akan bergabung ke PMII, organisasi mahasiswa Islam yang lazim bagi mereka yang berlatar pesantren. Namun, Robaytullah memilih GMNI. Bukan karena ikut-ikutan, tapi karena ia menemukan narasi perjuangan yang sejalan dengan semangatnya: nasionalisme, keadilan sosial, dan pembelaan terhadap rakyat kecil—semangat Marhaen yang menyatu dengan nurani santri.
Di GMNI, Robaytullah tidak sekadar aktif. Ia menyelam hingga ke kedalaman. Dari Sekretaris DPC Malang Raya, ia melesat ke tampuk kepemimpinan nasional. Di Kongres Manado tahun 2017, ia terpilih sebagai Ketua Umum DPP GMNI. Sebuah perjalanan yang tak hanya menguji kepemimpinan, tapi juga mempertebal kepercayaan dirinya bahwa gagasan tak boleh diam di kepala—ia harus hidup dalam tindakan.
GMNI mengajarkannya tentang pluralitas, keberanian berdebat, serta pentingnya menyatu dengan rakyat. Ia mengenang masa ketika organisasi itu punya program desa binaan dan desa dampingan. “Itu bukan agenda seremonial,” katanya. “Itu adalah latihan turba—turun ke bawah, menyentuh realitas rakyat, bukan hanya mendiskusikannya dari ruang kelas.”
Golkar: Dari Jalan Marhaenis Menuju Rumah Inklusif
Menjelang akhir masa jabatannya di GMNI, sekitar akhir 2019, Robaytullah mulai intens berdiskusi dengan sejumlah senior di Partai Golkar. Ia tak datang sebagai petualang politik. Ia datang sebagai seseorang yang mencari rumah gagasan. Dan Golkar, baginya, menawarkan sesuatu yang tak ia temukan di tempat lain: ruang yang terbuka.
“Golkar ini partai yang tidak mempersoalkan siapa kamu dulu, dari mana asalmu, dan agama apa yang kamu anut. Yang dihargai adalah kerja, kapasitas, dan loyalitas,” katanya.
Ia menunjuk contoh konkret: Bahlil Lahadalia. Sosok yang datang dari timur, bukan anak tokoh nasional, tapi karena kerja keras dan militansi, kini memimpin Golkar sebagai ketua umum. “Golkar menghargai meritokrasi,” kata Robaytullah. “Dan itu jarang kita temui hari ini.”
Ketika teman-temannya bertanya kenapa ia memilih Golkar—partai yang dulu lekat dengan Orde Baru—ia menjawab dengan tenang, bahwa sejarah tak bisa dibaca secara tunggal. “Golkar telah ada sejak Orde Lama, dan bahkan ketika resmi jadi partai, ia selalu berada dalam orbit kekuasaan. Artinya, ia adalah kawah candradimuka politik nasional. Bukan sekadar kendaraan kekuasaan, tapi arena pembelajaran.”
Ia pernah ada,di bawah naungan Barisan Muda Kosgoro menjabat sebagai Ketua Bidang dan terus aktif mengembangkan jaringan hingga ke Jawa Timur. Ia menganggap ini sebagai kelanjutan dari nilai-nilai Marhaenisme yang ia hidupi di GMNI.
Baginya, aktivis partai yang tidak membangun basis adalah omong kosong. Politik harus hidup di tengah rakyat. Ia ingin meneruskan tradisi pendampingan desa, membangun ruang-ruang dialog dengan akar rumput, menjaring gagasan langsung dari rakyat untuk dijadikan bahan bakar partai.
“Kalau di GMNI kita mendampingi desa, maka di Golkar kita harus menjadikan desa sebagai titik pusat gerakan politik. Jangan hanya datang saat pemilu, tapi terus menyatu dengan denyut masyarakat.”
Politik sebagai Laku, Bukan Sekadar Ambisi
Bersama dengan barisan aktivis Cipayung yang bergabung ke dalam Partai Golkar, Robaytullah tidak sedang membangun karier politik dalam pengertian pragmatis. Ia sedang membangun jembatan antara nilai dan kekuasaan, antara akar dan pohon. Ia tahu betapa beratnya jalan itu. Tapi ia juga tahu, bahwa politik sejatinya bukan soal cepat atau lambat, tapi soal arah dan kejujuran terhadap cita-cita.
Di akhir pertemuan, ia menatap langit Cikini yang mulai redup. Katanya pelan: “Saya hanya ingin menanam ide. Soal siapa yang akan menuai nanti, itu urusan sejarah.”
Jarum jam di gawai terus berdetak, sementara langit di Cikini mulai diselimuti gelap malam.. Tapi Robaytullah tak tampak terburu-buru. Ia bicara tentang masa depan seolah ia sedang menulisnya, perlahan, tapi pasti. Seperti seorang petani bernama Marhaen yang percaya pada musim tanam, ia tahu waktunya menanam, dan tahu saatnya panen. Kini ia menanam gagasan, semangat, dan pengabdian. Di tanah politik yang mungkin tak lagi subur, ia percaya: tanah itu tetap bisa ditumbuhi harapan (RED).
Discussion about this post