Oleh : M. Ibrahim S
Pidato Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), dalam pelantikan Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII), kembali mencuri perhatian. Dalam suasana yang cair dan akrab, Cak Imin melontarkan guyonan:
“Kalau ada yang tak tumbuh dari bawah, pasti bukan PMII—itu HMI.”
Pernyataan itu, bila dibaca dengan kacamata sosiologis, mencerminkan gaya humor khas Nahdlatul Ulama (NU), yang sejak lama menjadi bagian integral dari budaya komunikasinya. Dalam forum formal maupun nonformal, warga NU terbiasa menyisipkan humor sebagai cara menyampaikan kritik, membangun keakraban, bahkan sebagai sarana dakwah dan moralitas sosial.
Humor dalam tradisi NU bukan sekadar hiburan. Ia bagian dari struktur sosial. Para kiai pesantren sering menggunakan humor sebagai alat teguran halus, penyejuk konflik, atau sindiran yang elegan. Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) mencatat bahwa humor adalah elemen penting dalam komunikasi pesantren. Sementara Greg Fealy menilai gaya NU cenderung inklusif, komunikatif, dan cair. Berbeda dari corak formal atau rigid.
Dalam konteks itulah, guyonan Cak Imin tidak bisa dibaca sebagai bentuk permusuhan, melainkan sebagai banter kultural sindiran penuh keakraban yang bersifat simbolik. Ia adalah pengingat identitas, bukan pemecah relasi.
PMII dan HMI memang lahir dari sejarah dan ideologi yang berbeda. PMII didirikan pada 17 April 1960 berakar dari NU dan muncul sebagai respons atas ketegangan ideologis dengan HMI, yang saat itu masih terpengaruh oleh modernisme Islam ala Masyumi. HMI sendiri berdiri lebih awal, 5 Februari 1947, dan dikenal membawa semangat keislaman serta keindonesiaan, dengan tradisi kuat dalam mengisi posisi-posisi struktural dalam negara.
PMII dikenal sebagai gerakan mahasiswa yang bertumbuh dari akar rumput, fokus pada advokasi sosial dan pendampingan kaum pinggiran atau keberpihakan pada kaum mustadh’afin. Sementara HMI sering diasosiasikan dengan aktivisme yang lebih cepat masuk ke ruang-ruang elit dan birokrasi. Jadi bukan serangan ideologis.
Guyonan Cak Imin itu sebenarnya adalah stereotip ringan, biasa muncul dalam diskursus internal antar kader mahasiswa Islam. Yang mempersoalkannya, bisa jadi tidak memahami budaya komunikasi NU, di mana sindiran sering menjadi bentuk penghormatan dan ekspresi keakraban.
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh NU yang juga panutan PMII, dikenal luas sebagai figur humoris yang menyindir siapa saja dari pejabat negara, kolega, bahkan diri sendiri tanpa kehilangan martabat. Humor, bagi Gus Dur dan para kiai pesantren, adalah jalan elegan untuk menyampaikan hal-hal serius dengan cara yang bersahabat.
Dalam pandangan Victor Turner, gaya humor semacam ini bisa disebut communitas, yaitu ruang simbolik yang merekatkan komunitas melalui kelakar dan tensi sosial yang cair. Humor bukan untuk menyerang, tetapi untuk mempererat dan menertawakan ketegangan sosial bersama.
Maka, jika ada yang merespons guyonan ini secara berlebihan, besar kemungkinan mereka tidak mengenal kultur pesantren dan NU. Sebab kader NU, baik di PMII maupun di HMI, paham bahwa sindiran guyonan adalah bahasa cinta bukan serangan.
Kalaupun kader HMI berlatar NU ingin membalas, tentu dengan cara serupa menyindir dengan senyuman, mengkritik dengan santai. Bukan menyerang balik secara serius. Mungkin kita semua perlu belajar dari gaya NU Garis Lucu dan Muhammadiyah Garis Lucu, dua gaya yang mampu mentertawakan diri sendiri tanpa kehilangan martabat dan kehilangan kelas.
Guyonan Cak Imin soal PMII dan HMI bukanlah bahan bakar konflik, melainkan ekspresi warisan pesantren yang penuh keakraban. Di tengah suasana sosial yang kian polar dan penuh kecurigaan, kita butuh lebih banyak tawa bersama bukan kemarahan atas guyonan.
Tapi kalau masih ada yang tersinggung juga, ya sudahlah. Mungkin memang sedang cari panggung dan perhatian (RED).
Discussion about this post