Oleh : MS As-Syadzili*
Suatu waktu, Mantan Ketua Umum PBNU dan Presiden Indonesia ke-IV, KH.Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, menghadiri acara yang digelar oleh organisasi kemahasiswaan yang memiliki kedekatan historis dengan NU, yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Di acara itu, Gus Dur didaulat untuk memberikan kata sambutan. Awalnya, acara tersebut berjalan datar-datar saja. Karena pembicara-pembicara sebelumnya menyajikan dan mempidatokan hal-hal yang serius.
Tibalah giliran Gus Dur untuk naik ke atas panggung. Tak ada yang mengira bahwa naiknya Gus Dur ke atas podium akan membawa suasana yang mulanya serius menjadi penuh ger-geran. Gus Dur memulai kata sambutannya dengan hook yang menarik perhatian audiens sejak detik pertama. Gus Dur bertanya pada hadirin yang hadir di ruangan itu:
“Apa bedanya HMI dan PMII?”,tanya Gus Dur membuka kata sambutannya.
Karuan saja berbagai jawaban mencelat keluar dari para hadirin yang hadir di ruangan itu. Umumnya, semua jawaban itu jawaban formal.
“Nggak ada yang benar,”tukas Gus Dur.
“Yang benar itu, HMI tahu caranya dan menghalalkan segala cara sedangkan PMII nggak tahu caranya!,”lanjut Gus Dur disambut geer seluruh hadirin.
Joke satire yang dilontarkan Gus Dur ini sengaja penulis tampilkan ditengah viralnya pernyataan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia yang juga Mantan Ketua Umum PB PMII, Muhaimin Iskandar. Sosok yang biasa dipanggil Cak Imin itu, dalam kesempatan pelantikan dan pengukuhan Pengurus PB IKA PMII Periode 2025-2030 menyindir HMI, organisasi bentukan Lafran Pane.
“Nggak ada (kader) PMII itu nggak tumbuh dari bawah. Kalau ada yang tumbuh tidak dari bawah, itu bukan (kader) PMII. Itu (kader) HMI,”seloroh Cak Imin.
Slepetan Cak Imin ini sontak membuat panas kuping kader HMI. Sampai-sampai beredar selebaran kalau kader HMI akan melakukan aksi demonstrasi di Sekretariat DPP PKB. Hal yang menurut penulis, tidak perlu mengeluarkan tanggapan seperti itu terhadap joke yang dilontarkan oleh Ketua Umum PKB itu. Cukuplah joke dibalas dengan joke dengan cara yang elegan.
Kalau menurut Cak Imin, (kader) HMI nggak tumbuh dari bawah, itu karena kader HMI sudah tahu caranya bagaimana bisa langsung melesat dan melenting naik ke atas. Sedangkan kader PMII, seperti joke Gus Dur di awal tulisan ini, nggak tahu caranya.
Jadi sebenarnya, pernyataan Gus Dur “HMI tahu caranya dan bahkan menghalalkan segala cara. Sementara PMII nggak tahu caranya”,adalah pernyataan tajam yang terdengar seperti lelucon. Dan penting untuk diketahui, lelucon itu terkadang lebih menyakitkan dibandingkan pukulan. Lalu untuk siapa Gus Dur melemparkan joke itu? Ya tentu bukan hanya untuk PMII saja. Melainkan juga untuk HMI.
Maka ketika Gus Dur menyampaikan joke tersebut, kita seolah sedang menyaksikan stand-up comedy politik dengan naskah filsuf, ditulis di antara senyum sinis dan tawa getir.
HMI digambarkan oleh Gus Dur sebagai organisasi yang tahu caranya. Tentu, ini bisa dibaca sebagai pujian bagi kelihaian HMI menavigasi dunia politik dan kekuasaan. HMI tahu kapan harus bicara soal nation and character building, dan tahu kapan masuk ke ruang rapat elite tanpa undangan dan bahkan tanpa diketahui oleh yang punya acara.
Namun, di sisi lain, satire Gus Dur itu juga menyelipkan tusukan: “menghalalkan segala cara.” Artinya, HMI bukan hanya tahu “apa” dan “bagaimana”, tapi kadang lupa “kenapa” dan “untuk siapa”.
Andai saja, (ini penulis berandai-andai lho ya) filsuf politik Italia Nicolo Machiavelli hidup di Indonesia, mungkin dia akan bergabung dengan HMI cabang Renaissance.
“Yang penting hasilnya. Idealisme bisa menyusul, asal dapat jabatan dulu”begitu kira-kira yang akan disampaikan Machiavelli dari HMI Cabang Renaisance di forum-forum diskusi HMI.
Sementara itu, bagaimana dengan PMII yang dalam satire Gus Dur itu dipandang ‘nggak tahu caranya’?.
Ini Gus Dur seperti mau bilang,”niat sih bagus, tapi ya gitu.. Kalau nggak tahu caranya, sama aja bohong!”.
Oleh Gus Dur, PMII digambarkan seperti anak idealis yang tersesat di tengah rimba kekuasaan. Mereka hafal Manhaj Ahlussunnah, tapi tak tahu cara melobi Dirjen. Mereka punya semangat, tapi ditertawakan saat salah mengisi proposal.
Satire Gus Dur ini bukan ejekan kosong, tapi tamparan reflektif. Gus Dur, sebagai sosok yang dihormati oleh kader PMII sekaligus mantan Ketum PBNU, justru sedang menyampaikan bahwa kemurnian niat tak cukup jika tak dibarengi kecakapan. Tapi juga, kecakapan saja tanpa nurani akan menjadi bencana.
Pada akhirnya, Gus Dur tak sedang menjatuhkan salah satu, tapi mengolok-olok keduanya dengan cinta. HMI, cerdas tapi terlalu cair hingga bisa masuk ke semua warna partai dan posisi manapun. Sementara PMII, setia pada nilai-nilai Aswaja, tapi sering tertinggal karena tak membawa kompas navigasi di politik praktis. Ngumpulnya kader PMII pun mayoritas di PKB. Kalau pun ada di partai yang tidak dibidani kelahirannya oleh NU, bisa dihitung dengan jari. Karenanya, sangat jarang dan bahkan belum kita lihat saat ini, kader PMII yang bisa menjadi Ketua Umum Partai di luar PKB dan PPP. Mengapa? Ya lagi-lagi karena PMII nggak tahu caranya.
*Penulis adalah Kerani Arsip Historia HMI dan Warga NU Kultural
Discussion about this post