JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal mulai 2029 dinilai bukan hanya perubahan teknis, tetapi dapat menjadi pintu masuk menuju demokrasi yang lebih substansial. Direktur Program Puspoll Indonesia, Chamad Hojin, menyebut bahwa keputusan ini membuka ruang refleksi menyeluruh atas praktik politik elektoral yang selama ini terlalu transaksional dan dangkal dalam substansi.
“Selama ini pemilu kita ibarat pesta lima kotak, tetapi tidak melahirkan demokrasi yang dalam. Partisipasi publik tinggi secara angka, tetapi rendah secara makna. Hubungan rakyat dengan wakilnya sangat lemah. Ini akar krisis kepercayaan politik,” ujar Hojin kepada media, Senin (8/7/2025).
Menurutnya, problem utama demokrasi elektoral Indonesia bukan hanya pada tata waktu penyelenggaraan pemilu, tetapi pada arsitektur politik yang lemah dalam memperkuat institusi partai, memperdalam kesadaran pemilih, dan membangun koneksi antara suara dengan kebijakan publik.
Krisis Representasi dan Rendahnya Party ID
Puspoll Indonesia telah lama menyoroti rendahnya party identification (party ID) masyarakat terhadap partai politik. Data mereka menunjukkan bahwa sebagian besar pemilih tidak memiliki ikatan ideologis maupun emosional dengan partai tertentu. Pemilih cenderung berpindah-pindah dan bersikap pragmatis.
“Party ID kita sangat rendah. Pemilu hanya jadi rutinitas lima tahunan tanpa dampak yang kuat terhadap partai. Akibatnya, partai tidak tumbuh sebagai institusi ideologis, melainkan sebagai kendaraan elektoral semata,” papar Hojin.
Lemahnya identifikasi ini menyebabkan tidak ada partai yang dominan sejak era reformasi. Partai pemenang hanya memperoleh suara 17–22 persen, sehingga koalisi pemerintahan pun terbentuk secara pragmatis tanpa fondasi visi dan arah yang kuat.
Sistem Rekrutmen Politik yang Bermasalah
Lebih lanjut, Puspoll mengkritik sistem rekrutmen calon legislatif oleh partai yang dinilai sangat pragmatis, bahkan cenderung transaksional. Menurut Hojin, banyak partai justru lebih mempertimbangkan “isi rekening” calon ketimbang gagasan atau komitmen terhadap publik.
“Dalam banyak kasus, orang bisa masuk daftar caleg hanya karena punya modal finansial. Ini sangat berbahaya karena membuat demokrasi dikuasai oleh pemilik modal, bukan pemilik gagasan,” ungkapnya.
Padahal, sistem politik yang sehat membutuhkan politisi yang tumbuh dari basis pemilih, memiliki hubungan langsung dengan konstituen, dan membawa agenda publik ke parlemen. Hal ini hampir tak ditemukan dalam praktik politik kita hari ini.
Empat Putusan MK dan Peluang Merombak Sistem
Hojin menyebutkan, saat ini setidaknya ada empat putusan penting dari MK yang jika ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah dan DPR, bisa menjadi jalan bagi reformasi menyeluruh sistem kepemiluan:
-
Penghapusan presidential threshold: dari 20% menjadi 0%
-
Pembatalan parliamentary threshold: ambang batas parlemen 4%
-
Penghapusan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah
-
Pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal mulai 2029
“Keempat putusan ini membuka ruang desain baru bagi sistem demokrasi kita. Kita bisa mendesain pemilu yang lebih adil, partisipatif, dan substantif. Tapi itu hanya akan terjadi jika ada kemauan politik,” kata Hojin.
Momentum Mendesain Ulang Demokrasi
Menurut Puspoll, pemilu seharusnya tidak hanya soal teknis dan logistik, tetapi harus dipandang sebagai sarana pendidikan politik. Maka, pemisahan pemilu dapat dijadikan ruang untuk menata sistem: memperbaiki relasi partai dan rakyat, mendorong kaderisasi yang sehat, dan memutus dominasi politik uang.
“Putusan MK ini bisa menjadi titik balik. Kita harus berani meninggalkan demokrasi kosmetik yang hanya sibuk pada citra, logistik, dan kalkulasi elektoral, menuju demokrasi substantif yang berpijak pada nilai, gagasan, dan representasi yang sejati,” pungkas Hojin.
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa mulai 2029, pemilu nasional—yang meliputi presiden, DPR, dan DPD—akan dipisah dari pemilu lokal—yang meliputi DPRD, gubernur, bupati, dan wali kota. Format “pemilu lima kotak” yang selama ini menjadi ciri khas pesta demokrasi di Indonesia, tidak akan lagi berlaku (RED).
Discussion about this post