JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Legislator Komisi X DPR RI, Agung Widyantoro, mengkritisi sistem sentralisasi pengelolaan pendidikan menengah yang berada di tangan pemerintah provinsi. Menurutnya, kebijakan tersebut telah menciptakan ketimpangan serius dalam pemerataan akses dan fasilitas pendidikan, terutama di daerah-daerah pinggiran.
“Banyak kepala sekolah dan orang tua siswa mengeluhkan lambatnya penanganan kebutuhan sekolah karena birokrasi provinsi yang panjang dan tidak fleksibel,” ujar Agung dalam pernyataan resminya, Rabu (2/7/2025).
Agung mengacu pada data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2024 yang mencatat bahwa sekitar 30% sekolah di daerah pinggiran mengalami keterlambatan penyaluran dana BOS Provinsi. Kondisi ini, menurutnya, berbanding terbalik dengan semangat pemerataan pendidikan yang diamanatkan konstitusi.
Lebih jauh, Agung mengungkap bahwa ketimpangan antarwilayah juga tercermin dalam data Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah. Hanya 65% sekolah di kawasan seperti Cilacap dan Wonosobo yang memiliki fasilitas memadai, sementara di kota besar seperti Semarang dan Surakarta angkanya mencapai 85%.
“Ketika pengelolaan diambil alih oleh provinsi, justru sekolah-sekolah di daerah tertinggal makin tertinggal. Mereka tak punya suara yang cukup kuat di provinsi. Ini menciptakan jurang ketidakadilan,” ungkapnya.
Temuan BPK RI 2023 yang menyebut adanya inefisiensi anggaran di beberapa provinsi juga menjadi sorotan. Agung menilai sistem saat ini membuat dana cenderung tersentralisasi di ibukota provinsi, sedangkan sekolah di kabupaten/kota hanya menerima sisa-sisa yang terserap secara lambat.
Sebagai mantan Bupati Brebes, Agung menyampaikan pengalamannya saat pengelolaan SMA/SMK masih berada di bawah kendali kabupaten. “Waktu itu, kami bisa cepat bertindak. Saat bangunan rusak atau guru kurang, langsung direspons. Sekarang semuanya harus menunggu provinsi,” kenangnya.
Menurut Agung, persoalan ini tak cukup hanya dijawab dengan koordinasi teknis antarlevel pemerintahan. Ia menilai perlu kebijakan struktural yang mengembalikan suara daerah dalam pengelolaan pendidikan, salah satunya melalui revisi UU 23 Tahun 2014 agar kewenangan SMA/SMK dikembalikan ke kabupaten/kota.
“Jangan biarkan nasib sekolah ditentukan oleh birokrasi yang tak kenal medan. Pemerataan hanya mungkin jika daerah diberi kewenangan dan dukungan,” tegas anggota DPR dari Dapil Jawa Tengah IX ini.
Agung menambahkan, revisi kebijakan harus dibarengi dengan sistem pengawasan anggaran yang ketat agar potensi penyalahgunaan di tingkat daerah dapat dicegah. “Desentralisasi bukan berarti lepas kontrol. Tapi justru memperpendek jalur tanggap dan memperkuat keadilan akses,” pungkasnya (RED).































Discussion about this post