JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Soeparno, menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap dampak sistem pemilu nasional dan daerah yang dipisahkan, sebagaimana diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Menurut Eddy, keputusan pemisahan waktu pelaksanaan pemilu—dengan jeda minimal dua tahun—tidak hanya berdampak pada aspek teknis penyelenggaraan, tetapi juga mengubah secara mendasar dinamika politik elektoral dan strategi pemenangan di lapangan.
“Putusan ini bukan hanya soal waktu, tetapi menyangkut desain ulang tata kelola pemilu secara keseluruhan. Harus dipikirkan ulang bagaimana strategi partai, pola kampanye, logistik pemilu, dan tentu saja konsekuensi biaya politik yang meningkat,” ujar Eddy dalam keterangannya, Jumat (27/6/2025).
Ia menilai, selama ini caleg DPR RI, DPRD provinsi, hingga kabupaten/kota saling menopang dan bekerja secara sinergis dalam pemilu serentak. Namun dengan skema pemilu terpisah, kerja kolektif itu tak lagi bisa dilakukan.
“Dengan sistem yang lama, ada efisiensi. Tapi dengan pemilu lokal dipisah, masing-masing caleg harus menanggung beban sendiri. Ini akan menaikkan biaya politik secara signifikan,” katanya.
Eddy juga menyoroti dampak lanjutan dari keputusan MK terhadap masa jabatan pejabat publik di daerah. Ia menyebut, PAN masih mengkaji skema perpanjangan jabatan kepala daerah dan DPRD yang otomatis menjadi dua tahun hingga 2031 sebagai transisi menuju pemilu lokal berikutnya.
“Ini bukan hanya soal legalitas, tetapi juga efektivitas. Apakah kepala daerah dan anggota DPRD yang diperpanjang akan tetap optimal dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya? Ini harus jadi perhatian bersama,” ujar Eddy.
Lebih jauh, ia meminta DPR dan pemerintah tidak terburu-buru dalam menyusun revisi Undang-Undang Pemilu, dan harus melibatkan partai politik serta masyarakat sipil dalam dialog terbuka dan inklusif.
“Putusan MK ini monumental. Maka proses penyusunan UU Pemilu yang baru harus betul-betul cermat, komprehensif, dan partisipatif. Jangan sampai justru menambah kebingungan dalam pelaksanaan pemilu di masa mendatang,” tegasnya.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pemilu nasional—yang meliputi pemilihan presiden, DPR, dan DPD—harus dipisahkan dari Pemilu daerah, yang terdiri dari DPRD dan kepala daerah. Jeda minimal dua tahun ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan mencegah kelelahan pemilih maupun penyelenggara.
Namun bagi partai politik, tantangan baru juga muncul—dari soal kesiapan logistik, pembiayaan, hingga pembentukan mesin politik yang terpisah. Eddy berharap momentum ini bisa menjadi titik awal reformasi sistem pemilu Indonesia secara lebih mendalam.
“Pemisahan ini jangan hanya dianggap soal teknis, tapi sebagai kesempatan emas untuk memperbaiki arsitektur demokrasi kita agar lebih kuat, transparan, dan efisien,” pungkasnya (RED).
			








		    





















                
Discussion about this post