JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Konsep Prabowonomics kembali menjadi sorotan dalam diskusi bertajuk “Prabowonomics dan Tantangan Terbesar di Era Perang Global” yang digelar oleh GREAT Institute, Jumat (20/6). Dalam forum ini, para tokoh lintas bidang menilai bahwa Prabowonomics bukan sekadar kebijakan ekonomi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, melainkan peluang penting untuk menata ulang sistem perekonomian nasional dari akar hingga struktur terluarnya.
Dr. Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan, menyampaikan kritik tajam terhadap tata kelola sumber daya alam yang dinilainya menyimpang dari semangat Pasal 33 UUD 1945. Ia menekankan bahwa selama ini banyak kebijakan pascareformasi hanya menguntungkan segelintir pihak. “Kalau Pasal 33 tidak dijalankan serius, lebih baik kita hapus saja. Jangan terus menjadi bangsa hipokrit,” tegasnya.
Fuad menyebut pentingnya best practices dalam industri strategis, dengan mencontohkan model Vale Indonesia yang telah menunjukkan keberhasilan dalam reklamasi tambang dan penggunaan energi bersih.
Dari sisi politik pembangunan, Bursah Zarnubi menyebut Prabowonomics sebagai wujud reformulasi ekonomi kerakyatan yang berorientasi pada ekonomi komando. Ia mendorong transformasi struktural: “Sudah saatnya koperasi menggantikan dominasi PT. Koperasi harus menjadi tulang punggung ekonomi nasional.”
Peneliti GREAT Institute, Adhamaski Pangeran, menggarisbawahi bahwa Prabowonomics harus dimaknai sebagai kesempatan emas untuk mengoreksi kekeliruan sistemik. Ia menyebut salah kaprah dalam konsep efisiensi birokrasi yang sering kali malah memperlemah peran negara dalam melindungi rakyat kecil. Sementara itu, Adhie Massardi mendorong adanya “alokasi dana wajib” yang harus disisihkan sebelum APBN, khusus untuk sektor vital seperti pertanian, pendidikan, dan penciptaan lapangan kerja.
Moh Jumhur Hidayat, Ketua KSPSI, memperingatkan bahwa tanpa arah ekonomi yang jelas dan berpihak pada rakyat, Indonesia bisa terjebak dalam bencana demografi. Ia menyerukan agar segera dirancang Undang-Undang Sistem Perekonomian Nasional yang memosisikan koperasi, BUMN, dan swasta sebagai tiga pilar seimbang dalam struktur ekonomi.
Musa Rajekshah, anggota DPR RI, menyoroti sembilan Instruksi Presiden yang telah diterbitkan sejak awal masa pemerintahan Prabowo. Menurutnya, langkah-langkah ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam mengejar kemandirian pangan, energi, dan reformasi birokrasi, tetapi butuh dukungan struktur hukum dan eksekusi yang konsisten.
Diskusi yang dibuka oleh Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Syahganda Nainggolan, juga menyentuh dimensi geopolitik. Ia menyatakan bahwa dunia sedang bergerak menuju realitas perang global. Dalam konteks itu, Prabowonomics harus dilihat sebagai strategi bertahan hidup bangsa, bukan hanya kebijakan ekonomi biasa.
Forum ini dihadiri tokoh-tokoh nasional dari berbagai latar belakang seperti Helmy Fauzi, Hatta Taliwang, Rauf Purnama, serta mahasiswa dari universitas terkemuka. Kehadiran lintas generasi ini mempertegas bahwa persoalan ekonomi nasional bukan lagi sekadar urusan elite, tetapi menjadi bagian dari kesadaran kolektif bangsa.
Diskusi ditutup dengan semangat bahwa untuk bisa bertahan sebagai bangsa merdeka, Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi, tetapi harus membangun kedaulatan ekonomi yang berpijak pada konstitusi dan keadilan sosial. Prabowonomics, menurut peserta forum, adalah peluang sejarah untuk mewujudkannya (RED).
Discussion about this post