SURABAYA, RADIANTVOICE.ID – Perselisihan batas wilayah kembali mencuat, kali ini terjadi antara Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Sebanyak 13 pulau kecil di perairan selatan Jawa Timur kini menjadi objek perebutan administratif antara dua daerah tersebut.
Pulau-pulau tersebut antara lain Pulau Anak Tamengan, Anakan, Boyolangu, Jewuwur, Karangpegat, Solimo, Solimo Kulon, Solimo Lor, Solimo Tengah, Solimo Wetan, Sruwi, Sruwicil, dan Pulau Tamengan. Secara geografis, berdasarkan citra satelit, pulau-pulau itu terletak di wilayah Kecamatan Watulimo, Trenggalek, namun kini terdaftar dalam dokumen resmi Tulungagung.
“Dari awal sudah ada dualisme. Sudah double,” ujar Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setdaprov Jatim, Lilik Pudjiastuti, Rabu (18/6) dikutip dari CNN Indonesia.
Lilik menjelaskan, Pemerintah Kabupaten Trenggalek lebih dulu mencantumkan ke-13 pulau itu dalam Perda RTRW Nomor 15 Tahun 2012 untuk periode 2012–2032. Namun, sepuluh tahun berselang, Pemkab Tulungagung menetapkan pulau-pulau yang sama dalam Perda RTRW Nomor 4 Tahun 2023 untuk periode 2023–2043.
Lebih lanjut, polemik diperumit dengan terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menyatakan 13 pulau tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Tulungagung. Padahal, dalam Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2023, pulau-pulau itu diakui sebagai bagian dari Kabupaten Trenggalek.
Pemprov Jatim dan DPRD Desak Peninjauan Ulang
Lilik mengungkapkan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah memfasilitasi proses mediasi antara kedua kabupaten, bahkan menyampaikan laporan hasilnya kepada Kementerian Dalam Negeri sejak 2024. Namun hingga kini belum ada tindak lanjut resmi dari pemerintah pusat.
“Seperti apa tindakannya, ini kita masih menunggu dari Kemendagri,” ucap Lilik.
Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Deni Wicaksono, menegaskan bahwa Pemprov tidak boleh lepas tangan dalam perkara ini. Ia menilai persoalan ini bukan sekadar soal peta, tapi menyangkut kredibilitas tata kelola wilayah.
“Kalau dulu Pemprov menyatakan pulau itu bagian dari Trenggalek, maka sekarang harus dikawal,” kata Deni di Kantor DPRD Jatim.
Ia juga mempertanyakan keputusan Mendagri yang dianggap mencederai konsensus sebelumnya. Menurutnya, dasar hukum seperti RTRW provinsi dan kabupaten seharusnya menjadi rujukan utama, bukan sekadar dokumen administratif belaka.
“Keputusan pusat harus berbasis data faktual, bukan copy-paste peta,” tambahnya.
Deni mengungkapkan bahwa terdapat indikasi kandungan sumber daya alam, terutama minyak dan gas (migas), di sekitar wilayah 13 pulau tersebut. Ia menduga potensi kekayaan alam itu menjadi alasan terselubung di balik pemindahan wilayah administratif.
“Kalau benar ada indikasi migas, jangan sampai ini jadi rebutan diam-diam. Ini bukan soal kuasa, tapi soal hak,” tegasnya.
Dari sisi keamanan dan pengawasan, Deni menyebut bahwa secara operasional, wilayah tersebut selama ini berada dalam jangkauan TNI AL dan Polairud Trenggalek.
“Pulau-pulau itu lebih dekat ke garis pantai Trenggalek dan sudah lama diawasi oleh aparat di sana,” katanya.
Ia pun mendorong agar Kemendagri membuka ruang klarifikasi, dan bila perlu, merevisi keputusan yang dinilai keliru. Pasal 63 UU Administrasi Pemerintahan memberi dasar hukum untuk itu.
“Kalau Aceh saja bisa dapat kembali pulau-pulaunya lewat revisi keputusan Kemendagri dan Keppres, kenapa Trenggalek tidak?” pungkasnya (RED).
Discussion about this post