JAKARTA, RADIANTVOICE.ID — Ahli hukum sekaligus mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah, menilai sejumlah ketentuan dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) rawan disalahgunakan. Ia menyoroti khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang dinilainya bersifat “karet” dan bisa menjerat siapa saja—bahkan penjual pecel lele di trotoar jalan.
Pernyataan itu disampaikan Chandra dalam sidang lanjutan perkara nomor: 142/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (18/6). Dalam keterangannya, ia mengkritik rumusan pasal-pasal tersebut yang terlalu luas dan tidak memenuhi asas legalitas, khususnya lex certa (jelas) dan lex stricta (tidak multitafsir).
“Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), penjual pecel lele pun dapat dikenakan sanksi karena berjualan di trotoar—yang merupakan perbuatan melawan hukum dan bisa dianggap merugikan keuangan negara,” ujar Chandra, sebagaimana dikutip dari laman MK.
Ia menjelaskan, penjual kaki lima yang beroperasi di atas trotoar bisa dianggap “memperkaya diri sendiri” secara melawan hukum karena memakai fasilitas publik negara untuk mencari keuntungan pribadi. Apalagi jika keberadaan mereka menyebabkan kerusakan infrastruktur atau mengganggu fungsi jalan.
Chandra juga menyoroti Pasal 3 UU Tipikor yang mencantumkan frasa “setiap orang”. Menurutnya, hal ini bisa menyimpang dari esensi korupsi itu sendiri, sebab tidak semua orang memiliki kekuasaan atau kewenangan yang bisa disalahgunakan untuk merugikan negara.
“Frasa ‘setiap orang’ seharusnya dibatasi hanya pada ‘pegawai negeri’ dan ‘penyelenggara negara’, sebagaimana prinsip dalam Article 19 UNCAC (Konvensi Antikorupsi PBB),” imbuhnya.
Dalam sidang yang sama, pemohon juga menghadirkan Ahli Keuangan Amien Sunaryadi, mantan Wakil Ketua KPK periode 2003-2007. Ia menyoroti fokus aparat penegak hukum yang lebih banyak mengejar kasus kerugian keuangan negara, alih-alih suap—padahal suap merupakan bentuk korupsi yang paling banyak terjadi.
“Korupsi yang paling dominan di lapangan adalah suap, tetapi aparat lebih banyak mengejar kasus-kasus yang berorientasi pada kerugian keuangan negara,” kata Amien.
Ia mengingatkan, jika pendekatan seperti ini terus digunakan, maka pemberantasan korupsi tidak akan efektif. “Kita harus kembali pada akar masalahnya, yakni gratifikasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik,” tegasnya.
Perkara pengujian konstitusionalitas Pasal 2 dan 3 UU Tipikor ini berpotensi menjadi salah satu batu ujian penting dalam perbaikan sistem hukum pidana korupsi di Indonesia—mengingat besarnya dampak penerapan pasal terhadap hak warga negara (RED).
Discussion about this post