JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Keputusan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran memicu kekhawatiran komunitas internasional, lembaga pengawas energi atom, serta para ahli mengenai potensi kontaminasi radioaktif dan kimia.
Pada Senin (16/06), Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi menyatakan terdapat kemungkinan terjadinya kontaminasi dari instalasi nuklir Natanz yang rusak akibat serangan. Natanz merupakan pusat utama program nuklir Iran.
Sementara itu, para pemimpin kawasan dan dunia memperingatkan bahwa serangan militer Israel, yang dimulai sejak Jumat lalu, berisiko semakin mendestabilisasi kawasan dan meningkatkan potensi konfrontasi nuklir.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, menyampaikan keprihatinan mendalam atas eskalasi tersebut. Ia menegaskan, meski Uni Eropa menolak kepemilikan senjata nuklir oleh Iran, jalan diplomasi — bukan aksi militer — harus dikedepankan.
Langkah Netanyahu, yang telah lama menyerukan penghentian program nuklir Iran melalui kekuatan militer, dilakukan di tengah berlangsungnya perundingan antara Washington dan Teheran. Presiden Amerika Serikat Donald Trump membantah keterlibatan dalam serangan, tetapi kembali menegaskan bahwa negaranya tidak akan membiarkan Iran memperoleh senjata nuklir. Iran sendiri menegaskan bahwa program nuklirnya semata-mata untuk keperluan sipil.
IAEA: Risiko Radiasi dan Gas Kimia Sangat Nyata
Dalam sesi darurat Dewan Gubernur IAEA di Wina, Grossi menyampaikan bahwa tingkat radiasi di luar instalasi Natanz dan Isfahan – dua lokasi yang menjadi target serangan Israel – sejauh ini masih normal. Namun, ia memperingatkan bahwa eskalasi militer dapat meningkatkan risiko pelepasan zat radioaktif.
Grossi juga mengungkapkan bahwa serangan tersebut telah menghancurkan bagian atas fasilitas Natanz. Meski fasilitas utama pengayaan uranium di bawah tanah tidak terkena langsung, sistem kelistrikannya padam akibat serangan, yang kemungkinan dapat merusak sentrifugal pengayaan uranium.
Gas uranium heksafluorida yang digunakan dalam sentrifugal sangat volatil dan korosif — mampu membakar kulit dan berbahaya jika terhirup. Hingga kini belum diketahui apakah ada kebocoran akibat pemadaman listrik tersebut.
Grossi menegaskan pentingnya informasi teknis yang cepat dan berkala dari Iran agar IAEA dapat menilai kondisi secara akurat serta memberikan bantuan yang diperlukan. Tanpa informasi itu, IAEA tidak bisa menilai risiko terhadap penduduk dan lingkungan secara menyeluruh.
Serangan terhadap Fasilitas Nuklir: Bukan yang Pertama
Sepanjang sejarah, fasilitas nuklir sering menjadi sasaran serangan saat masih dalam tahap konstruksi, terutama di Timur Tengah. Contohnya, pada 1980 Iran menyerang reaktor Osirak milik Irak, yang kemudian dihancurkan Israel setahun kemudian. Amerika Serikat juga menyerang fasilitas itu dalam Operasi Desert Storm.
Israel juga pernah menyerang reaktor Suriah di Deir Az Zor pada 2007 yang dibangun Korea Utara, sementara kelompok separatis ETA di Spanyol pernah menyerang proyek PLTN Lemoiz pada akhir 1970-an.
Kasus lain terjadi di Prancis dan Afrika Selatan, namun semuanya dilakukan sebelum reaktor mulai beroperasi. Hingga saat ini, belum ada catatan serangan langsung terhadap instalasi nuklir operasional yang mengakibatkan pelepasan zat radioaktif secara besar-besaran.
Dunia Pernah Nyaris Menghadapi Insiden Nuklir
Kepala Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) Dan Smith, sebagaimana dilansir dari Al-Jazeera, menyebut bahwa ancaman terbesar justru berasal dari kesalahan perhitungan, bukan serangan terencana.
Ia mencontohkan insiden Petrov tahun 1983 ketika sistem peringatan dini Soviet keliru mendeteksi peluncuran rudal balistik AS. Seorang insinyur bernama Stanislav Petrov menolak meneruskan informasi itu ke atasannya dan berhasil mencegah kemungkinan perang nuklir besar.
Smith mengingatkan bahwa dalam situasi tekanan tinggi dan retorika bermusuhan, keputusan impulsif dapat berujung fatal. Menurutnya, risiko semacam ini bahkan lebih mengkhawatirkan dibanding serangan nuklir yang disengaja.
Perang Rusia-Ukraina dan Ancaman Nuklir Baru
Ancaman kontaminasi nuklir juga muncul dalam konflik Rusia-Ukraina. Pada Maret 2022, Rusia menguasai Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Zaporizhzhia, pembangkit terbesar di Eropa. Ukraina melaporkan bahwa Rusia menempatkan pasukan bersenjata di sekitar reaktor dan menggunakan lokasi tersebut untuk meluncurkan serangan ke wilayah Nikopol, yang meningkatkan risiko serangan balasan yang bisa menghantam fasilitas nuklir.
Pada Agustus 2022, Energoatom – badan tenaga nuklir Ukraina – melaporkan bahwa serangan artileri Rusia telah merusak sistem nitrogen-oksigen di PLTN tersebut, sehingga memunculkan risiko kebocoran hidrogen dan penyebaran zat radioaktif.
IAEA kemudian turun tangan untuk memastikan seluruh reaktor dalam kondisi mati dan meredakan ketegangan di sekitar lokasi. Namun, fasilitas itu tetap memerlukan pasokan listrik dan air yang stabil untuk mendinginkan batang bahan bakar yang sudah digunakan (RED).
Discussion about this post