JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai kecaman luas dari berbagai kalangan. Dalam sebuah wawancara di kanal YouTube IDN Times bertajuk “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah”, Fadli menyebut bahwa tidak ada bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal, dalam Peristiwa Mei 1998. Ia juga menyebut informasi soal kekerasan seksual itu hanya rumor yang tidak pernah tercatat dalam sejarah resmi.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas merespons keras pernyataan tersebut dan menilainya sebagai bentuk manipulasi sejarah serta pelecehan terhadap para korban.
“Ini adalah upaya sistematis negara dalam memutihkan dosa Orde Baru,” tegas pernyataan bersama koalisi yang terdiri dari berbagai LSM dan individu pemerhati HAM.
Menurut mereka, Fadli Zon tidak hanya menunjukkan sikap tidak empatik terhadap korban, namun juga mendiskreditkan kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM yang telah menginvestigasi langsung kekerasan seksual dalam tragedi tersebut.
Laporan akhir TGPF pada Oktober 1998 mencatat kekerasan seksual dalam berbagai bentuk: perkosaan, perkosaan disertai penganiayaan, serangan seksual, hingga pelecehan. Total ada 85 korban yang berhasil didokumentasikan, sebagian besar merupakan perempuan keturunan Tionghoa dan menjadi target kekerasan bernuansa rasial.
Salah satu temuan paling mencengangkan adalah bahwa sebagian besar kasus perkosaan dilakukan secara bergilir (gang rape) dan bahkan di depan umum. TGPF juga menemukan bahwa kekerasan terjadi di Jakarta, Medan, Surabaya, dan beberapa kota lain bahkan sebelum dan sesudah kerusuhan 13–15 Mei 1998.
“Pernyataan Fadli Zon berusaha membungkam fakta ini dan mencederai ingatan kolektif bangsa,” tegas koalisi.
Komnas Perempuan: Bukti Nyata Tak Bisa Dihapus
Peristiwa Mei 1998 menjadi pemicu lahirnya Komnas Perempuan lewat Keppres No. 181/1998. Keberadaan Komnas Perempuan adalah bukti pengakuan negara atas tragedi kekerasan seksual massal yang menimpa perempuan kala itu. Bahkan, memorial khusus didirikan di Pondok Rangon pada 2015 sebagai bentuk penghormatan terhadap para korban.
Menghapus sejarah ini, menurut koalisi, sama saja dengan mengkhianati semangat reformasi.
Koalisi juga menyoroti pengangkatan Fadli Zon sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Jabatan ini dinilai berbahaya karena membuka peluang bagi revisi narasi sejarah secara politis, termasuk wacana lama: menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Fadli Zon diketahui pernah menyatakan dukungan terhadap pemberian gelar tersebut, sebuah langkah yang dinilai menyakitkan bagi korban pelanggaran HAM era Orde Baru.
Koalisi menyampaikan 10 poin tuntutan, di antaranya:
-
Fadli Zon diminta mencabut pernyataan dan meminta maaf secara terbuka.
-
Pemerintah diminta menghentikan proyek penulisan ulang sejarah resmi.
-
Penunjukan Fadli Zon sebagai Ketua GTK harus dibatalkan.
-
Penyidikan pelanggaran HAM berat Mei 1998 harus dilanjutkan oleh Jaksa Agung.
-
Gelar pahlawan untuk Soeharto ditolak keras.
Koalisi menyerukan kepada masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas korban untuk terus mengawal narasi sejarah.
“Bangsa yang besar tidak menghapus jejak lukanya, tapi belajar dari situ,” tutup mereka (RED).
Discussion about this post