JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Polemik tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, kian memanas. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan membuka peluang penyelidikan atas penerbitan izin tambang yang beroperasi di kawasan konservasi tersebut.
Pernyataan itu disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menanggapi ramainya pemberitaan dan desakan publik terkait aktivitas lima perusahaan tambang yang dituding merusak ekosistem alam Raja Ampat.
“Kalau ada laporan pengaduannya, ya (kami) usut,” tegas Harli saat ditemui di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (10/6).
Namun, Harli mengingatkan bahwa pemberitaan media saja tidak cukup. Menurutnya, langkah hukum bisa diambil jika masyarakat atau pihak berwenang melaporkan secara resmi.
“Ramainya jangan hanya di media. Itu disampaikan ke aparat penegak hukum, supaya ada dasar bagi kami untuk melakukan pengecekan, sebenarnya apa yang terjadi di sana,” ujarnya.
Lebih lanjut, Harli menyebutkan bahwa aduan masyarakat dapat menjadi pintu masuk bagi aparat hukum untuk mendalami dugaan pelanggaran dalam proses penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah yang selama ini dikenal sebagai surga terakhir biodiversitas dunia.
Sebelumnya, lima perusahaan telah diketahui mengantongi izin tambang di Raja Ampat. Sebagian besar izin diterbitkan sejak 2013 hingga 2025 oleh pemerintah pusat dan daerah. Aktivitas mereka menuai kritik tajam dari aktivis lingkungan yang menilai eksploitasi tambang nikel telah merusak keindahan dan keberlanjutan ekosistem Raja Ampat.
Isu ini mencuat usai aksi protes damai yang dilakukan dalam gelaran Indonesia Critical Mineral Conference & Expo 2025 di Jakarta, 3 Juni lalu.
Kejagung kini tinggal menanti laporan resmi. Akankah kasus tambang Raja Ampat menjadi babak baru penegakan hukum lingkungan di Indonesia? Publik menunggu gebrakan berikutnya (RED).
Discussion about this post