Oleh : Hamid Basyaib*
SEJAK kecil kita diajari satu rumus sederhana: kerja keras → dapat uang → beli barang → hidup bahagia. Rumus ini melekat dalam logika publik, dalam kampanye politik, dalam kebijakan negara.
Negara-negara berlomba memompa angka Produk Domestik Bruto (PDB), sementara individu terus memburu promosi, bonus, dan saldo rekening yang kian tebal. Namun, dengan semua itu, apakah kita benar-benar lebih bahagia?
Jawaban mengejutkan datang bukan dari filosof atau agamawan, tapi dari seorang ekonom, Richard Easterlin. Pada 1974, ia mempublikasikan temuan yang kelak menjadi bom waktu dalam ilmu ekonomi: bahwa peningkatan pendapatan nasional tidak otomatis meningkatkan tingkat kebahagiaan rata-rata masyarakat.
Temuan ini kemudian mashur sebagai “Easterlin Paradox”, sebuah paradoks yang mengguncang keyakinan dasar kita: bahwa lebih kaya belum tentu lebih bahagia.
Easterlin bukan aktivis spiritual atau tokoh anti-kapitalis. Ia ekonom mapan, lulusan University of Pennsylvania dan Stanford, yang mencermati demografi dan kesejahteraan manusia.
Dalam esai terkenalnya “Does Economic Growth Improve the Human Lot?”, ia menggali hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan berdasarkan data lintas negara.
Dalam satu negara, katanya, memang benar individu yang berpenghasilan lebih tinggi cenderung lebih bahagia daripada yang berpendapatan rendah. Tetapi ketika sebuah negara mengalami pertumbuhan ekonomi bertahun-tahun, kebahagiaan masyarakatnya stagnan.
Jepang adalah contoh klasik. PDB per kapitanya meningkat drastis sejak era pasca-perang. Tapi tingkat kebahagiaan orang Jepang, yang diukur lewat survei berkala jangka-panjang, nyaris tidak berubah selama puluhan tahun.
Inilah tiga pilar “Easterlin Paradox”
Pertama, kaya berarti lebih bahagia (secara relatif): Dalam satu waktu dan satu tempat, orang kaya memang lebih bahagia daripada orang miskin. Tapi ini hanya bersifat relatif.
Kedua, ekonomi tumbuh, tapi jiwa stagnan: Kenaikan pendapatan nasional tidak menjamin kenaikan kebahagiaan nasional. Uang meningkat, tapi rasa-cukup tidak ikut naik.
Ketiga, setelah mencapai titik tertentu, uang jadi ilusi: Negara yang sudah mapan secara ekonomi tidak serta-merta memiliki masyarakat yang lebih bahagia dibanding negara dengan pendapatan sedang.
Paradoks ini bukan hanya soal data, tetapi soal cara manusia merasakan hidup. Dan justeru di sinilah ekonomi klasik mulai kelihatan ompong. Ia bisa menghitung konsumsi dan produksi, tapi gagal membaca kesepian dan kehampaan.
Menurut Easterlin, ada dua mekanisme psikologis yang membuat hal itu bisa terjadi. Pertama, adaptasi hedonis, yaitu kecenderungan manusia untuk cepat terbiasa dengan segala bentuk kemewahan atau kenyamanan baru.
Mobil pertama bikin kita bahagia. Mobil kedua terasa biasa. Mobil ketiga tidak lagi membuat kita merasa lebih “hidup”. Standar kita naik, tapi kebahagiaan tidak ikut menanjak. Orang terus mendaki gunung ekspektasi tanpa pernah sampai ke puncaknya.
Kedua, perbandingan sosial. Kita merasa cukup bukan karena benar-benar cukup, tapi karena lebih cukup dibanding orang lain. Maka ketika pendapatan semua orang meningkat serentak, posisi relatif kita tetap sama. Ego tidak merasa unggul, dan perasaan bahagia pun mandek.
“Inilah yang membuat masyarakat modern seperti terjebak di dalam treadmill kebudayaan: berlari makin cepat tanpa bergerak ke mana-mana,” kata Easterlin. “Semua orang ingin lebih, tapi tak seorang pun merasa sudah cukup.”
Paradoks ini sangat relevan dengan dunia hari ini. Lihatlah Amerika Serikat, negeri dengan GDP tertinggi di dunia, tetapi sekaligus dengan tingkat depresi dan bunuh-diri yang mengkhawatirkan.
Atau Korea Selatan, yang punya infrastruktur digital terbaik, namun mencatat angka tekanan psikologis tertinggi di Asia Timur, seperti juga Jepang (setidaknya di era sebelumnya).
Ini bukan sekadar ironi statistik. Ini gejala penyakit jiwa kolektif yang ditutup-tutupi dengan pertumbuhan ekonomi. Kita terlalu sibuk membangun gedung tinggi, tapi lupa bahwa yang juga kita perlukan adalah makna bukan sekadar kemajuan.
Beberapa ekonom, seperti Betsey Stevenson dan Justin Wolfers, mengritik “Easterlin Paradox.” Mereka bilang pendapatan dan kebahagiaan tetap berkorelasi positif dalam jangka panjang, meski tidak terlalu kuat.
Mereka menggunakan dataset global yang lebih luas dan menyimpulkan bahwa “lebih banyak uang memang membawa lebih banyak kebahagiaan, meski efeknya mengecil.”
Tapi tesis utama Easterlin tidak runtuh: bahwa kebahagiaan itu relatif dan adaptif. Correlation is not causation. Kalaupun ada korelasi, bukan berarti itu kausal. Banyak faktor lain yang bisa ikut meningkatkan kebahagiaan nasional, misalnya kesehatan, demokrasi, hubungan sosial yang tak bisa diwakili oleh angka GDP semata.
Easterlin tetap kukuh pada pendiriannya. Dalam berbagai wawancara hingga usia tuanya, ia menekankan bahwa kebijakan pembangunan harus memprioritaskan kesejahteraan psikologis dan sosial, bukan hanya indikator ekonomi.
Jika Easterlin benar, dan bukti-bukti pendukungnya makin banyak, maka mungkin kita sedang melangkah di jalan yang rapuh. Indonesia masih mengukur kemajuan dengan angka PDB, indeks daya beli, dan konsumsi domestik.
Tetapi, pernahkah kita juga bertanya: apakah orang Indonesia merasa makin tenteram? Apakah hubungan antarmanusia makin hangat? Apakah rasa syukur dan pengharapan tumbuh di hati rakyat?
Tantangan kita ke depan adalah mendefinisikan ulang makna kesejahteraan. Ini bukan sekadar tugas negara, tapi juga tanggung jawab pribadi. Kita mesti keluar dari narasi “lebih itu selalu lebih baik,” dan mulai membangun budaya “cukup itu cukup.”
Inilah sebabnya Bhutan memelopori Gross National Happiness (GNH) — saya pernah bicara di diskusi panel bersama wakil dari Bhutan yang memperkenalkan indeks ini, di Fukuoka, Jepang, dan waktu itu saya menertawainya karena menganggap kebahagiaan tidak mungkin diukur; sekarang saya sedang berpikir ulang.
Negara-negara Skandinavia pun kini lebih menekankan keseimbangan antara kerja dan hidup (work-life balance), kualitas hubungan sosial, dan dukungan negara terhadap kesehatan mental publik.
Kita tidak harus meniru total, tentu saja. Tapi kita bisa belajar: bahwa kesejahteraan sejati bukan soal apa yang kita miliki, tapi apa yang kita rasakan dan bagikan.
Richard Easterlin mengingatkan kita pada satu hal yang kerap dilupakan oleh birokrat, pengusaha, bahkan aktivis: bahwa angka tidak sama dengan rasa. PDB bisa tumbuh 6, 7 atau 9 persen, tetapi jika relasi sosial rusak, empati hancur, dan jiwa masyarakat rapuh, maka semua itu hanya statistik tanpa makna.
Maka pertanyaan terpenting sekarang bukanlah: “Berapa PDB kita tahun ini?”—melainkan: “Apakah masyarakat merasa damai, tersambung, dan punya harapan hidup yang lebih baik?”
Tentu saja kita boleh kaya, tapi tak boleh buta. Kita harus tumbuh, tapi juga harus tetap waras. Sebab jika tidak, kita akan menjadi bangsa yang menang dalam angka, tapi mungkin kalah dalam jiwa.
*Penulis adalah Jurnalis Senior
Discussion about this post