JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Di tengah derasnya arus disinformasi dan diamnya dunia internasional atas tragedi kemanusiaan di Palestina, sebuah karya literasi hadir sebagai senjata perlawanan intelektual: Badai Al-Aqsa: Eksistensi, Harga Diri, dan Kemanusiaan. Buku ini bukan hanya sekadar dokumentasi sejarah, tetapi menjadi bentuk gugatan moral terhadap sistem global yang membiarkan penjajahan terus berlangsung.
Diterbitkan melalui kolaborasi Nusantara Palestina Center (NPC) dan Center for Dialogue and Civilization Al-Sharq (CDC Al-Sharq), buku ini menantang pembaca untuk melihat lebih dalam dimensi perlawanan Palestina, bukan dari lensa media mainstream, tapi dari suara akar rumput, para pengamat, dan saksi sejarah yang selama ini dibungkam oleh narasi dominan.
Muhammad Anas Lc., M.Si., Direktur CDC Al-Sharq sekaligus salah satu penulis, menyebut Badai Al-Aqsa sebagai upaya untuk melawan ketidakadilan melalui jalur pengetahuan.
“Kita tidak hanya mencatat sejarah, tapi juga menyampaikan nurani yang luka, suara yang selama ini dipadamkan,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (24/5).
Anas menyoroti peristiwa 7 Oktober 2023 sebagai titik balik signifikan dalam perjuangan Palestina. Ia menyebut momen tersebut sebagai keajaiban strategis ketika satu divisi militer Israel dilumpuhkan dalam hitungan jam—sebuah catatan yang tak pernah terjadi sejak berdirinya Israel. Namun keberhasilan ini memantik balasan brutal dari Israel dan sekutunya, menyebabkan kehancuran masif di Gaza.
“Buku ini tidak membanggakan kekerasan. Ia mencatat keberanian. Ia berbicara tentang manusia, bukan statistik. Tentang harga diri yang tidak bisa ditaklukkan oleh bom dan embargo,” tegas Anas.
Lebih dari narasi geopolitik, Badai Al-Aqsa menggali sisi kemanusiaan yang jarang mendapat tempat di diskursus publik. Ditulis bersama Libasut Taqwa dan Agung Nurwijoyo, buku ini menggabungkan perspektif Timur Tengah, analisis hubungan internasional, dan kajian strategis yang relevan. Tak hanya menceritakan tentang perang, tetapi juga tentang narasi, propaganda, dan perjuangan mempertahankan makna kemerdekaan dalam situasi ekstrem.
Anas mengungkapkan bahwa buku ini baru edisi pertama dari rangkaian yang lebih panjang. Edisi kedua tengah disiapkan karena agresi Israel terhadap Gaza belum berhenti, dan banyak aspek penting lain yang masih perlu diangkat ke permukaan.
“Ketika dunia memilih diam, kita memilih menulis. Ketika narasi dijajah, kita merdeka lewat kata,” ujar Anas.
Badai Al-Aqsa menjadi simbol perlawanan baru: bukan dengan senjata, tetapi dengan pena. Sebuah ajakan untuk berpihak pada kemanusiaan, melampaui sekat ideologi dan geopolitik. Buku ini bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk direnungkan—dan untuk menggugah tindakan.
Peluncuran ini menjadi bukti bahwa Palestina tidak hanya bertahan dengan batu dan roket, tapi juga dengan pikiran, pena, dan kesadaran global yang terus dibangun. Sebab dalam dunia yang bising namun sering bisu terhadap kebenaran, buku adalah bentuk perlawanan yang paling berbahaya dan paling abadi (RED).
Discussion about this post