PALEMBANG, RADIANTVOICE.ID – Sejumlah pelaku usaha eksportir di Sumatera Selatan menyuarakan kegelisahan mereka terkait regulasi yang dianggap menghambat kelancaran ekspor produk turunan sawit. Keluhan tersebut disampaikan langsung dalam pertemuan dengan Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi XI DPR RI pada 16–18 Mei 2025 di Palembang.
Permasalahan utama yang dihadapi eksportir antara lain menyangkut klasifikasi produk yang berubah menjadi kategori HAPOR (High Acid Palm Oil Residue) berdasarkan Permenperin No. 32/2024. Perubahan ini berdampak pada naiknya tarif pungutan BPDPKS menjadi 7,5% sesuai PMK No. 62/2024. Selain itu, kewajiban Persetujuan Ekspor (PE) dari Permendag No. 26/2024 dan tumpang tindih prosedur karantina turut menambah beban logistik.
“Perbedaan interpretasi antara instansi serta sistem yang belum terintegrasi menyebabkan antrean dokumen dan keterlambatan pengapalan. Ini berdampak langsung pada biaya logistik kami,” ujar salah satu perwakilan eksportir sawit.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, H. Fauzi H. Amro, M.Si., menyatakan pihaknya akan menindaklanjuti seluruh aspirasi untuk dibahas dalam evaluasi lintas kementerian dan lembaga.
“Kami akan membawa persoalan ini ke pusat agar regulasi yang ada bisa lebih adil dan sesuai kondisi lapangan,” tegas Fauzi.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, mengakui perlunya sinergi antarlembaga untuk memastikan implementasi kebijakan tidak menghambat dunia usaha. Menurutnya, DJBC siap menjadi fasilitator komunikasi antara pelaku usaha dan instansi teknis.
“Peran kami bukan hanya pengawasan, tapi juga memperlancar arus ekspor dan menjaga daya saing industri,” ujarnya.
Sementara itu, kinerja perdagangan Sumatera Selatan tetap menunjukkan tren positif. Surplus neraca perdagangan mencapai USD 2,29 miliar hingga April 2025, dengan nilai ekspor tumbuh 44,08% year-on-year. Namun, para pelaku usaha mengingatkan bahwa keberhasilan ini tidak akan berkelanjutan tanpa perbaikan regulasi secara menyeluruh.
Komisi XI menegaskan komitmennya untuk terus menyerap masukan dari pelaku usaha di daerah, khususnya sektor strategis seperti kelapa sawit, agar perekonomian daerah tetap tumbuh tanpa dibebani oleh birokrasi yang tidak efisien (RED).
Discussion about this post