Radiant Voice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar Daerah
  • Internasional
  • Voicer
  • Politik
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Gaya Hidup
    • All
    • Buku
    • Film
    • Kuliner
    • Musik
    Peluncuran dan Bedah Buku “Kyai Faqih Maskumambang: Peradaban Santri dan Altar Kebangsaan”, yang digelar di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Kamis (10/7/2025).

    Menulis Sejarah Ulama, Meneguhkan Identitas Islam Kebangsaan Indonesia

    Presiden Prabowo berpose bersama pejabat tinggi Rusia di Taman Makam Piskaryovskoye, St. Petersburg, Federasi Rusia, 19 Juni 2025. Sumber foto : Instagram Sekretariat Kabinet.

    Buku Prabowo Jadi Simbol Diplomasi Strategis Indonesia–Rusia

    Cover buku Badai Al-Aqsa

    Bukan Sekadar Buku! Badai Al-Aqsa Guncang Nurani Dunia

    Diskusi dan Bedah Buku Karena Perempuan, Aku Di-Cancel” (Kumpulan 16 Puisi Esai Kisah Perempuan yang Menyayat Hati), karya Mila Muzakkar di Ruang Teater Fakultas A, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, Jumat (16/5/2025).

    Kisah Perempuan Tabu Terungkap Lewat Puisi Esai AI

    dr. Wachyudi Muchsin alias Dokter Koboi

    Dokter Koboi Bagikan Tips Sehat Jalani Ibadah Haji

    Para pemeran film drama Korea The Auditors

    The Auditors, Konflik Korupsi dalam Dunia Bisnis

    Drama Korea The Devil Judge

    The Devil Judge: Ketika Keadilan Berubah Jadi Pertunjukan

    Lee Je-hoon tampil memukau sebagai Yoon Joo-no, seorang negosiator legendaris dalam bidang merger dan akuisisi (M&A).

    The Art of Negotiation: Duel Strategi Tanpa Peluru

    Azealia Banks

    Azealia Banks Sentil Dunia, Soroti Indonesia Jadi “Tempat Sampah” Global

  • Sosok
  • E-Paper
  • RV TV
  • Beranda
  • Kabar Daerah
  • Internasional
  • Voicer
  • Politik
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Gaya Hidup
    • All
    • Buku
    • Film
    • Kuliner
    • Musik
    Peluncuran dan Bedah Buku “Kyai Faqih Maskumambang: Peradaban Santri dan Altar Kebangsaan”, yang digelar di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Kamis (10/7/2025).

    Menulis Sejarah Ulama, Meneguhkan Identitas Islam Kebangsaan Indonesia

    Presiden Prabowo berpose bersama pejabat tinggi Rusia di Taman Makam Piskaryovskoye, St. Petersburg, Federasi Rusia, 19 Juni 2025. Sumber foto : Instagram Sekretariat Kabinet.

    Buku Prabowo Jadi Simbol Diplomasi Strategis Indonesia–Rusia

    Cover buku Badai Al-Aqsa

    Bukan Sekadar Buku! Badai Al-Aqsa Guncang Nurani Dunia

    Diskusi dan Bedah Buku Karena Perempuan, Aku Di-Cancel” (Kumpulan 16 Puisi Esai Kisah Perempuan yang Menyayat Hati), karya Mila Muzakkar di Ruang Teater Fakultas A, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, Jumat (16/5/2025).

    Kisah Perempuan Tabu Terungkap Lewat Puisi Esai AI

    dr. Wachyudi Muchsin alias Dokter Koboi

    Dokter Koboi Bagikan Tips Sehat Jalani Ibadah Haji

    Para pemeran film drama Korea The Auditors

    The Auditors, Konflik Korupsi dalam Dunia Bisnis

    Drama Korea The Devil Judge

    The Devil Judge: Ketika Keadilan Berubah Jadi Pertunjukan

    Lee Je-hoon tampil memukau sebagai Yoon Joo-no, seorang negosiator legendaris dalam bidang merger dan akuisisi (M&A).

    The Art of Negotiation: Duel Strategi Tanpa Peluru

    Azealia Banks

    Azealia Banks Sentil Dunia, Soroti Indonesia Jadi “Tempat Sampah” Global

  • Sosok
  • E-Paper
  • RV TV
No Result
View All Result
Radiant Voice

Cinta buta dan fanatisme Politik

2 Mei 2025 10:28
in Voicer
REDAKSIbyREDAKSI
A A
Taufik Fredrik Pasiak (Penulis)

Taufik Fredrik Pasiak (Penulis)

Oleh : Taufiq Fredrik Pasiak*

Kita menyebutnya cinta buta—ketika seseorang tetap mencintai walau disakiti, ditipu, bahkan dipermalukan. Cinta semacam ini tak berhenti di ranah asmara. Ia menjelma ke dalam keyakinan politik, agama, budaya, bahkan fanbase selebritas. Cinta berubah rupa menjadi fanatisme—sebuah keterikatan emosional yang membutakan nalar.

Mengutip Oxford Dictionary, fanaticism adalah “keyakinan atau perilaku ekstrem, terutama dalam urusan agama atau politik.” Cambridge Dictionary mendefinisikannya sebagai “kepercayaan ekstrem yang dapat mengarah pada perilaku yang tidak masuk akal atau kekerasan” (dalam konteks formal), dan “minat yang sangat besar terhadap sesuatu, hingga dianggap tidak masuk akal oleh orang lain” (dalam konteks informal). Versi kata sifatnya, fanatical, berarti “terlalu antusias atau terobsesi pada sesuatu sampai-sampai dianggap tidak rasional.”

Definisi psikologi menegaskan hal yang sama. Menurut American Psychological Association (APA), fanatisme adalah “semangat atau pengabdian yang berlebihan dan sering kali irasional terhadap suatu tujuan atau sistem kepercayaan.”

Kita bisa menyebutnya dengan bahasa lebih praktis; fanatisme adalah cinta buta yang mengalami mutasi: dari relasi pribadi menjadi kesetiaan kolektif yang tak bisa dikritik. Ia dibungkus emosi, dilindungi dopamin, dan diperkuat oleh kebutuhan manusia untuk terikat, bahkan ketika objek keterikatannya telah berulang kali menyakiti.

Manakala cinta buta menjadi fanatisme, jadilah gabungan yang mematikan: loyalitas yang tak bisa ditawar, disertai ketakutan akan kehilangan identitas jika melepaskannya. Inilah yang membuat fanatisme politik, keagamaan, atau budaya bukan sekadar pilihan, tapi semacam ikatan emosional yang mengikat seperti candu. Dan seperti kata penyanyi Gombloh yang pahit tapi jujur: “kalau cinta sudah melekat, tai kucing rasa coklat.” Dalam fanatisme, bahkan kebusukan bisa terasa manis—asal datang dari idola.

Artikel ini akan bercerita tentang ‘cinta buta’ dalam politik—sebut saja fanatisme politik. Bagaimana otak bisa kehilangan daya kritis saat terlanjur mencintai seorang pemimpin?. Lain waktu, kita akan bicara tentang fanatisme agama dan fanatisme sepakbola—dua ladang subur lainnya tempat nalar sering tersesat demi loyalitas.

Dalam kerangka ilmiah, istilah ‘cinta buta’ dalam tulisan ini dioperasionalkan sebagai bentuk dari romantic love menurut Helen Fisher—seorang antropolog biologis yang telah meneliti struktur cinta dari sisi otak. Fisher menegaskan bahwa romantic love bukan sekadar perasaan, tapi sistem motivasi yang digerakkan oleh mekanisme neurokimia di otak manusia. Di sini kita bisa melacak akar biologis fanatisme secara saintifik.

Dalam studinya yang terkenal (Fisher, 2005), cinta romantik ditemukan mengaktifkan area ventral tegmental area (VTA) dan Nukleus Kaudatus, dua wilayah otak yang kaya zat kimia dopamin dan terkait erat dengan sistem penghadiahan (dapat hadiah ketika melakukan sesuatu). Otak para responden yang sedang “jatuh cinta” menunjukkan pola aktivitas yang sama seperti pada pecandu kokain ringan. “Romantic love adalah bentuk adiksi alami yang diciptakan evolusi untuk mengunci perhatian dan energi kita hanya pada satu objek.” Kata Fisher.

Setahun kemudian (2006), ia memperdalam temuannya: romantic love tetap mengaktifkan sistem motivasi meski hubungan telah berakhir atau bertepuk sebelah tangan. Responden yang baru saja ditolak tetap menunjukkan aktivitas tinggi di area hadiah (reward), bersamaan dengan aktivitas di orbitofrontal cortex—bagian otak yang terkait dengan obsesi, kemarahan, dan kontrol impuls. Di sinilah kita memahami mengapa orang bisa tetap bertahan, membela, bahkan memaafkan berkali-kali, meski sudah disakiti oleh orang (tokoh) yang mereka cintai. Tolong ingat baik2 kalimat saya ini.

Risetnya pada 2016 melengkapi semua itu: cinta romantik memiliki seluruh gejala ketagihan (adiksi)—euforia, craving, toleransi, ketergantungan, bahkan withdrawal. (silakan cari di Google arti masing2). Ia menyebut cinta sebagai “natural addiction” yang bisa jadi positif atau destruktif, tergantung konteksnya. Karena berbagi jalur dopamin dengan adiksi lainnya, cinta bisa jadi candu yang membutakan, tapi juga bisa jadi substitusi adiksi yang menyelamatkan.

Jika kita tarik ke ranah politik, fanatisme terhadap seorang pemimpin memiliki struktur neurologis yang sama seperti romantic love. Sistem hadiah otak bekerja, dopamin mengalir, dan keterikatan emosional terbentuk bukan karena tokohnya benar atau baik—tapi karena otak sudah lebih dulu memutuskan untuk merasa in love. Maka yang muncul bukan rasionalitas, melainkan pembenaran. Cinta buta berubah menjadi kesetiaan yang tak bisa disentuh oleh logika.

Jika menurut Helen Fisher (2005, 2006, 2016) cinta romantik adalah sistem motivasi purba yang dirancang untuk mengikat manusia pada satu objek lewat suntikan dopamin, maka temuan Drew Westen (2006) membawa kita lebih jauh: bahwa mekanisme cinta yang sama itu juga bekerja dalam fanatisme politik. Bukan hanya cinta membuat kita buta, tapi politik yang dicintai bisa membuat kita menolak realitas secara sadar.

Dalam studi fMRI terhadap pendukung fanatik dalam Pilpres AS 2004, Westen dan timnya (2006, J of Cogn. Neurosc.) menemukan bahwa ketika partisipan dihadapkan pada informasi negatif tentang kandidat yang mereka dukung, bagian otak yang bertanggung jawab atas evaluasi logis dan pengambilan keputusan kritis—seperti dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC)—tidak aktif. Sebaliknya, aktivasi terjadi pada sistem hadiah dan pusat emosional seperti ventromedial prefrontal cortex, anterior cingulate cortex, insula, dan orbitofrontal cortex.

Dengan kata lain, otak para pendukung fanatik tidak sedang berpikir, tapi sedang bertahan. Mereka tidak menimbang fakta, tapi mencari cara untuk mengurangi rasa tidak nyaman akibat informasi yang mengancam identitas politiknya. Bahkan, sistem dopamin di otak justru aktif ketika mereka berhasil memaklumi atau membenarkan kebohongan sang idola. Mereka “menikmati” proses pembenaran itu—bukan karena logis, tapi karena secara emosional, itu melegakan. Menyenangkan.

Terbentuk tali temali dan jalinan kuat antara cinta dan politik: ketika ikatan emosional (afeksi) melekat terlalu dalam, penalaran akan mundur perlahan. Bukan karena data kurang, tapi karena rasa terlalu penuh. Dalam konteks ini, fanatisme politik bekerja bukan sebagai keyakinan ideologis, melainkan sebagai relasi afektif dan emosional—sejenis cinta buta yang tak mau kehilangan, meski sudah berkali-kali dikhianati.

Pada fase ini, fanatisme politik mewujud dalam bentuk paling nyata: pembelaan mati-matian terhadap tokoh, meski kesalahannya terpampang jelas. Tak peduli ada rekaman, laporan, atau putusan pengadilan—yang terlihat justru narasi pembenaran, teori konspirasi, atau serangan balik kepada lawan. Di media sosial, ini menjelma jadi pola: membungkam kritik, memviralkan potongan video yang dipoles sedemikian rupa, atau memelintir realitas agar tetap selaras dengan imajinasi kolektif tentang “pemimpin ideal.”

Perilaku semacam ini bukan soal etika atau logika, tapi soal keterikatan emosional yang dalam. Ketika cinta sudah melekat, nalar jadi alat pelengkap, bukan alat penguji. Bahkan saat tokoh pujaan mengingkari janji atau menyimpang dari nilai yang dulu ia bawa, fanatikus tetap bertahan. Mereka lebih memilih mengubah tafsir kenyataan daripada mengakui bahwa yang mereka cintai bisa salah.

Kita bisa melihat ini dalam berbagai bentuk: dukungan membabi buta kepada tokoh yang mempraktikkan politik identitas dan politik ‘harga mati’, meski hasilnya memecah-belah; pengikut yang tetap loyal kepada pemimpin korup, dengan dalih “semua juga sama”; atau kelompok yang menganggap kritik sebagai penghinaan terhadap martabat kolektif, bukan sebagai bagian dari kewarasan demokrasi.

Mari kita cermati. Ada paradoks disini: demokrasi membutuhkan nalar publik, tapi politik yang dicintai berlebihan justru mematikan fungsi nalar itu sendiri. Demokrasi menjanjikan kebebasan berpikir, tapi fanatisme menukar kebebasan itu dengan kenyamanan psikologis untuk terus percaya.

Dan ini bukan terjadi karena rakyat bodoh, tapi karena otak manusia memang cenderung mencari rasa aman dalam keterikatan. Politik menjadi tempat bernaung emosi, bukan lagi tempat bertarung gagasan. Saat rasa nyaman lebih penting daripada kebenaran, maka yang menang bukan yang membawa solusi, melainkan yang paling mampu menyentuh syaraf emosi terdalam.

Lalu, bagaimana cara keluar dari jebakan cinta buta dalam politik? Jawabannya bukan pada siapa yang kita dukung, tapi bagaimana kita mendukung. Bukan pada pilihan politik itu sendiri, tapi pada kesadaran apakah pilihan itu masih kita evaluasi dengan akal sehat, atau sudah kita peluk seperti keyakinan yang tak boleh disentuh.

Satu-satunya cara merawat demokrasi adalah dengan menjaga jarak emosional yang sehat terhadap para pemimpin. Mengagumi boleh, berharap wajar, tapi menyembah (‘idol’) adalah awal dari kehancuran nalar. Kita perlu membiasakan diri mengkritik tanpa membenci, mendukung tanpa memabukkan diri dengan rasa benar, dan, ini yang paling sulit, mampu menarik diri ketika kebenaran mulai dikalahkan oleh kenyamanan.

Perlu dicatat, yang kita bahas di sini adalah fanatisme yang tumbuh dari cinta buta—bukan dari cinta berbayar. Karena ada pula ‘pengidolaan’ yang bukan berbasis afeksi, tapi transaksi: orang-orang yang terlihat fanatik karena ada kursi, jabatan, atau rekening yang harus diamankan. Mereka ini tak buta, justru sangat sadar apa yang sedang mereka lakukan—dan karena itu, jauh lebih berbahaya (Meulaboh 160125, bersambung).

*Penulis adalah Ilmuwan Otak, Dekan FK UPN Veteran Jakarta

Tags: Helen FisherPolitikTaufik Fredrik Pasiak
Previous Post

Ketua Umum KPPG : RUU PPRT Jadi Jalan Negara Hadir Lindungi Pekerja Perempuan

Next Post

Jurnalis Dituduh Anarko, SINDIKASI Desak Reformasi Polisi

Related Posts

Akril Abdillah (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen Universitas Persada Indonesia)

Politik Identitas yang Eksploitatif: Narasi Usang di Era Dinamika Kebangsaan

9 November 2024 23:19:04

Discussion about this post

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Logo HMI dan GMNI

Ketika Tokoh HMI dan GMNI Menyatu di Pelaminan

19 November 2024 10:47:16
Sekjen Partai Golkar, M.Sarmuji, saat memberikan testimoni pada peringatan malam ke-7 meninggalnya politisi Partai Golkar yang juga mantan Ketua Umum PB HMI 2002-2004, Kholis Malik di Jakarta pada Minggu (24/11/2024).

M.Sarmuji: Kholis Malik Tidak Pernah Cemburu pada Junior

25 November 2024 16:15:16
Gedung KPU Kabupaten Tegal - Source : Google Maps

Suami Komisioner KPU Kabupaten Tegal Diduga Jadi Tim Pemenangan Cabup, Rights Desak DKPP Turun Tangan

25 November 2024 07:41:09
Phirman Reza

Melangkah Karena Sejarah: Phirman Reza dan Pilihan Menuju Golkar

31 Juli 2025 18:53:15
Sah! TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 Dicabut

Sah! TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 Dicabut

Putri Wales Catherine Selesaikan Perawatan Kemoterapi

Putri Wales Catherine Selesaikan Perawatan Kemoterapi

Ini Tanggapan JK atas Gerakan Anak Abah Tusuk 3 Paslon

Ini Tanggapan JK atas Gerakan Anak Abah Tusuk 3 Paslon

Ketua DPC Gerindra Surabaya Sebut Bumbung Kosong Itu Bagian dari Proses Demokrasi

Ketua DPC Gerindra Surabaya Sebut Bumbung Kosong Itu Bagian dari Proses Demokrasi

Warga saat melihat puing-puing Gedung Grahadi yang menjadi korban pembakaran oleh massa.

Publik Curiga Penjarahan Rumah Politikus Bukan Aksi Spontan Biasa

4 September 2025 23:09:31
Gambar adalah ilustrasi

Demo atau Rusuh

4 September 2025 09:34:23
Laras Faizati

Pegawai Lembaga Internasional Ditangkap Usai Hasut Bakar Mabes Polri

4 September 2025 00:49:44
Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen

Delpedro Marhaen Tulis Surat Dari Tahanan, Tegaskan Perlawanan

4 September 2025 00:27:50

Recent News

Warga saat melihat puing-puing Gedung Grahadi yang menjadi korban pembakaran oleh massa.

Publik Curiga Penjarahan Rumah Politikus Bukan Aksi Spontan Biasa

4 September 2025 23:09:31
Gambar adalah ilustrasi

Demo atau Rusuh

4 September 2025 09:34:23
Laras Faizati

Pegawai Lembaga Internasional Ditangkap Usai Hasut Bakar Mabes Polri

4 September 2025 00:49:44
Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen

Delpedro Marhaen Tulis Surat Dari Tahanan, Tegaskan Perlawanan

4 September 2025 00:27:50

IKLAN

Seedbacklink

Next Post
Stop Kekerasan Terhadap Jurnalis.

Jurnalis Dituduh Anarko, SINDIKASI Desak Reformasi Polisi

Radiant Voice

Sebuah platform media yang kami dedikasikan untuk menghadirkan informasi yang tidak hanya informatif tetapi juga mencerahkan.

Follow Us

Browse by Category

  • Advertorial
  • Buku
  • Ekonomi
  • Film
  • Gaya Hidup
  • Hukum
  • Internasional
  • Kabar Daerah
  • Kuliner
  • Musik
  • Nasional
  • Politik
  • Sosok
  • Voicer

Recent News

Warga saat melihat puing-puing Gedung Grahadi yang menjadi korban pembakaran oleh massa.

Publik Curiga Penjarahan Rumah Politikus Bukan Aksi Spontan Biasa

4 September 2025 23:09:31
Gambar adalah ilustrasi

Demo atau Rusuh

4 September 2025 09:34:23
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Iklan

© 2024 Radiant Voice Dikembangkan Oleh Tim IT Radiant Voice

The best sites to buy Instagram followers in 2024 are easily Smmsav.com and Followersav.com. Betcasinoscript.com is Best sites Buy certified Online Casino Script. buy instagram followers buy instagram followers Online Casino

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar Daerah
  • Internasional
  • Voicer
  • Politik
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Gaya Hidup
  • Sosok
  • E-Paper
  • RV TV

© 2024 Radiant Voice Dikembangkan Oleh Tim IT Radiant Voice