Oleh : Taufiq Fredrik Pasiak
Saya pertama kali mendengar istilah “musuh bersama” atau common enemy bukan di ruang kuliah, bukan pula dari buku tebal teori politik. Istilah itu justru muncul dalam sebuah obrolan kecil saat masih mahasiswa—di antara diskusi-diskusi ringan yang kerap tak berujung.
Pemahaman yang lebih utuh dan membekas justru saya dapatkan pada suatu malam di lapangan tenis Gubernuran, Bumi Beringin, Manado. Waktu itu, saya kerap menyambangi Gubernur Sulawesi Utara, almarhum SH Sarundajang, bukan sebagai pejabat formal, tapi sebagai murid tidak resmi (ini istilah saya sendiri)—teman diskusi tentang otak dan perilaku, dua topik yang beliau senangi.
Hampir 7 tahun, bersama beberapa kawan dari UNSRAT, kami menjadi semacam lingkar kecil refleksi yang kadang muncul di sela-sela tugas-tugas beliau yang padat. Saya sendiri kerap menyambangi beliau di lapangan tenis Gubernuran Bumi Beringin Manado, atau dipanggil ke rumah bagus beliau di Kawangkoan.
Selama kurang lebih 5 tahun setiap idul fitri beliau ‘pasiar’ ke rumah saya. Dan pojok perpustakaan selalu menjadi tempat duduk favorit beliau. Dari beliaulah, saya mendapat penjelasan sedikit padat tentang ‘common enemy’ ini.
“Dalam politik, kadang yang menyatukan bukan harapan, tapi musuh bersama,” katanya suatu waktu.
Dalam kesempatan lain saya cerita ke beliau bahwa ‘musuh’ itu dikaitkan dengan ‘rasa takut’. Rasa takut itu bisa ditelusuri ke struktur paling purba dari dalam otak manusia. Lokasinya, di area (menurut istilah ahli otak) subkortikal, tersembunyi di antara struktur rumit di bawah area sadar dan kognisi otak manusia.
Sejak ini, dalam banyak kesempatan tidak resmi, kami berdiskusi mendalam.
***
Sejak itulah saya mulai lebih peka mengamati bagaimana konsep musuh bersama itu bekerja dalam kenyataan politik kita.
Sekira tahun 2014, saya melihat tanda-tandanya muncul lebih terbuka dan sistematis. Sependek pengamatan saya, sejak pemilu tahun itu, publik Indonesia makin terbiasa dengan dikotomi politik yang brutal. Pro dan kontra tak lagi dibangun di atas adu argumen, tapi berdasarkan satu pertanyaan sederhana: “siapa yang kita lawan?” Di titik ini, lawan menjadi lebih penting daripada arah, dan identitas lebih menentukan dari isi. Polarisasi mulai tumbuh, bukan karena perbedaan visi, tapi karena siapa yang dianggap “berseberangan.”
Dalam pemilu 2019, situasi ini tidak mereda, justru semakin dipertajam oleh kekuatan yang berada di lingkar kekuasaan. Musuh bersama mulai dirancang secara sistematis, tidak lagi hadir sebagai respons alami atas perbedaan, melainkan sebagai alat untuk mengonsolidasikan dukungan dan melumpuhkan oposisi.
Makin ke sini, hingga puncaknya pada Pemilu 2024, fenomena “musuh bersama” ini menguat dengan tajam. Polarisasi yang dulu terasa seperti percikan, kini menjelma menjadi jurang. Tentu, saya mengamatinya bukan sebagai ilmuwan politik atau pengamat politik, yang bukan keahlian saya .
Saya melihatnya dari sisi yang lebih dalam dari apa yang terjadi di dalam otak manusia ketika rasa takut dibiakkan terus-menerus. Dalam perspektif psikologi politik dan ilmu saraf perilaku, ketegangan politik semacam ini bukan hanya menciptakan perbedaan pilihan, tapi mengaktifkan sirkuit ancaman dalam otak yang membuat masyarakat terus-menerus dalam posisi siaga, curiga, bahkan agresif terhadap sesama.
Di titik ini, musuh bersama bukan lagi alat politik, melainkan menjadi bagian dari cara berpikir dan merasa rakyat itu sendiri. Ada satu fase dimana saya merasakan kehidupan masyarakat seperti kembali pada kehidupan jutaan tahun lalu ketika ancaman binatang buas dan bencana alam menghadang setiap saat.
Kesan saya, politik Indonesia tak beda jauh dengan kehidupan jutaan tahun lalu. Bedanya, saat ini, ketakutan diramu secara cerdas melalui sejumlah strategi termasuk mengelola ‘musuh bersama’ ini. Ada actor yang menjadi kaya karena mengelola rasa takut dan ‘musuh bersama’ ini.
***
Dalam kerangka ilmu otak, rasa takut bukan sekadar emosi yang muncul sesekali, melainkan sistem biologis yang sangat purba dan tertanam dalam struktur terdalam otak manusia. Paul LeDoux (1998), salah satu tokoh penting dalam kajian ini, menunjukkan bahwa sirkuit subkortikal dengan amigdala sebagai pusat deteksi ancaman, bekerja lebih cepat dan keras dari pikiran sadar. Ia mengaktifkan reaksi sebelum kita sempat menganalisis, sebab tugasnya adalah menjaga kelangsungan hidup.
Rasa takut ini tidak menunggu kita berpikir, ia memaksa kita untuk segera bertindak. Dan dalam konteks sosial, ketika narasi ancaman diproduksi secara sistematis, sirkuit amigdala kita terus-menerus dipicu, membuat masyarakat hidup dalam kewaspadaan yang melelahkan.
Dalam teori sistem emosi primer yang dikembangkan Jaak Panksepp (1998), Rasa takut adalah salah satu dari tujuh sistem afektif dasar otak mamalia bersama dengan sistem Rage, Lust, dan lainnya—yang secara naluriah membentuk respons terhadap lingkungan. Artinya, rasa takut terhadap “musuh” adalah bagian dari warisan biologis yang sangat mudah dimobilisasi, terutama ketika diarahkan melalui simbol, slogan, atau figur ancaman yang diproduksi secara kolektif.
***
Dalam politik modern, rasa takut tidak muncul begitu saja. Ia diproduksi dan diarahkan, terutama melalui simbol, slogan, dan figur-figur yang sengaja diposisikan sebagai ancaman kolektif. Musuh bersama jarang tampil sebagai entitas nyata; ia dikonstruksi lewat narasi yang terus diulang: kata-kata yang menggugah, visual yang dimanipulasi, dan tokoh yang dijadikan titik tumpu rasa cemas bersama.
Simbol-simbol seperti bendera, ayat, dan istilah sakral sering kali tidak lagi digunakan untuk mempersatukan, tapi untuk menciptakan garis batas antara “kita” dan “mereka”. Ketika satu kelompok dilabeli sebagai “radikal”, “anti-negara”, atau “pengkhianat ideologi”, maka yang terjadi bukan hanya perbedaan pendapat—tapi pengingkaran terhadap kemanusiaan mereka. Di sinilah rasa takut mengalami transformasi: dari emosi alami menjadi alat kontrol politik.
Ia tidak lagi lahir dari ancaman nyata, melainkan dari rekayasa ancaman yang dipelihara oleh mereka yang paham betul cara kerja otak manusia.
***
Istilah punya daya magis dalam politik. Ia bukan sekadar kata, tapi alat produksi rasa takut. Dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa menyaksikan bagaimana sejumlah istilah digunakan secara masif untuk membangkitkan reaksi emosional ketimbang membuka ruang berpikir. Kata “khilafah”, misalnya, hampir selalu disandingkan dengan ancaman disintegrasi, radikalisme, dan kekerasan. Padahal maknanya tidak tunggal, tidak selalu merujuk pada hal yang sama (setidaknya begitu yg saya tahu dari ilmuwan Bernard Lewis, di bukunya “Bahasa Politik Islam”.)
Sebaliknya, slogan “NKRI harga mati” digunakan sebagai mantra nasionalistik, tapi seringkali menjadi tameng untuk membungkam kritik atau mempersempit definisi kebangsaan. Istilah lain seperti “anti-Pancasila”, “radikal kiri”, “antek asing”, hingga “komunisme gaya baru” juga dilemparkan ke ruang publik bukan untuk didiskusikan, tapi untuk mengunci rasa takut.
Ketika kata-kata kehilangan makna aslinya dan hanya dipakai sebagai tombol emosional, maka yang tumbuh bukan dialog, tapi kecurigaan. Bukan argumentasi, tapi serangan balik. Dan dalam situasi seperti itu, publik tidak lagi diajak berpikir—mereka diprogram untuk merespons.
Bahasa dalam politik bukan sekadar alat komunikasi—ia adalah senjata. Dalam banyak konteks, istilah-istilah tertentu bekerja seperti mantra: ia tak perlu dijelaskan panjang, cukup diucapkan, dan publik langsung bereaksi. Bourdieu, sosiolog Perancis, menyebutnya sebagai symbolic power (1984)—kuasa yang bekerja lewat legitimasi simbolik, bukan kekerasan fisik.
Saya parafrasakan beberapa gagasan Michel Foucault dari The Archaeology of Knowledge (1969/1972), bahwa siapa yang menguasai wacana, pada dasarnya menguasai realitas. Wacana tidak hanya mengatur apa yang boleh dikatakan, tapi juga apa yang boleh dipikirkan, dirasakan, dan dianggap benar dalam sebuah masyarakat. Maka ketika wacana tentang musuh bersama dikendalikan dan diulang terus-menerus, ia akan membentuk struktur berpikir kolektif—seolah-olah itulah satu-satunya kebenaran yang sah.
Dalam konteks “musuh bersama”, istilah-istilah yang sudah saya sebut di atas, bukan sekadar label—mereka adalah tombol emosional yang diprogram untuk mengaktifkan rasa takut. Repetisi istilah itu, terutama jika datang dari otoritas moral atau media arus utama, akan menciptakan asosiasi otomatis: bahwa siapa pun yang terkena label tersebut adalah ancaman.
Di sisi ini kemudian istilah menjadi pelumas utama bagi konstruksi musuh bersama. Ketika satu kelompok berhasil disematkan istilah yang memicu ketakutan, maka sisanya tinggal menunggu: solidaritas semu terbentuk, dan rasa aman publik ditempuh dengan cara membenci bersama.
***
Pada akhirnya, rasa takut bukan sesuatu yang harus dihapus, melainkan ditempatkan pada tempat yang semestinya. Judith Shklar, dalam gagasannya tentang liberalism of fear (1989), menyatakan bahwa politik yang sehat bukanlah yang menjanjikan surga di bumi, melainkan yang berusaha mencegah kekejaman dan penyalahgunaan kekuasaan.
Rasa takut yang benar, kata Judith, adalah rasa takut terhadap kekuasaan yang tak terkendali, bukan terhadap rakyat yang berbeda pendapat. Maka jika hari ini rasa takut justru dipelihara oleh mereka yang duduk di lingkar kekuasaan, maka kita patut bertanya: untuk siapa sebenarnya ketakutan itu diciptakan?
Di tengah segala kerusakan narasi yang kita hadapi, satu aktor yang jarang disorot, tapi memainkan peran kunci adalah para konsultan politik. Mereka bekerja di balik layar, menciptakan slogan, membentuk wacana, dan memetakan emosi publik layaknya pasar.
Sayangnya, manakala kekuasaan menjadi proyek psikologis, dan rakyat hanya dianggap sebagai target demografi, maka kita bukan lagi membangun negara kita sedang merusaknya perlahan.
Mungkin sudah saatnya kita memulihkan demokrasi bukan dengan amarah, tapi dengan keberanian berpikir jernih. Karena satu-satunya musuh yang layak kita lawan bersama adalah mereka yang mempermainkan rasa takut demi kuasa. Dan seperti semua yang dibangun di atas rasa takut, kekuasaan semacam ini rapuh—dan suatu saat akan runtuh oleh rasa sadar.
*Penulis adalah Ilmuwan Otak, Dekan FK UPN Veteran-Jakarta.
Discussion about this post