JENA, LOUISIANA, RADIANTVOICE.ID – Sidang imigrasi terhadap Mahmoud Khalil, mahasiswa Universitas Columbia yang juga aktivis pro-Palestina, menuai sorotan luas setelah seorang hakim AS memutuskan bahwa ia dapat dideportasi, meskipun belum pernah didakwa melakukan kejahatan apapun.
Putusan ini menandai babak baru dalam kebijakan imigrasi era Presiden Donald Trump yang dituding menggunakan hukum untuk membungkam suara-suara kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika, khususnya dalam isu Israel-Palestina.
Khalil, yang lahir di kamp pengungsi Palestina di Suriah dan kini menjadi penduduk tetap sah AS, ditangkap sebulan lalu di apartemennya di New York. Ia kini ditahan di penjara imigrasi di Louisiana, ribuan kilometer dari keluarganya.
Dalam sidang Jumat lalu, Hakim Jamee Comans menyatakan tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan keputusan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, yang menilai Khalil dapat membahayakan kepentingan luar negeri Amerika hanya karena pandangannya – yang secara hukum dinyatakan sah.
Pengacara Khalil menilai langkah ini sebagai bentuk pelecehan terhadap prinsip kebebasan berpendapat.
“Mahmoud menjadi korban dari parodi proses hukum,” tegas pengacara Marc Van Der Hout sebagaimana disitir dari Reuters. Ia juga mengkritik keras keputusan pengadilan yang menolak permintaan untuk menghadirkan Rubio sebagai saksi, meski keputusannya menjadi dasar utama kasus ini.
Khalil sendiri menanggapi keputusan hakim dengan tenang namun tajam. Ia menyoroti hilangnya prinsip “proses hukum dan keadilan” selama sidang berlangsung.
“Inilah alasan sebenarnya kenapa pemerintahan Trump mengirim saya ke pengadilan ini, jauh dari keluarga saya,” katanya.
Putusan ini belum final. Khalil memiliki waktu hingga 23 April untuk mengajukan permohonan perlindungan dari deportasi. Sementara itu, pengadilan federal di New Jersey juga tengah mempertimbangkan klaim bahwa penangkapannya melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang menjamin kebebasan berbicara.
Kasus Khalil menjadi simbol ketegangan antara hak individu dan keputusan politik, sekaligus pengingat bahwa di tengah demokrasi, kebebasan berekspresi masih bisa terancam oleh kekuasaan (RED).
Discussion about this post