JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Deddy Sitorus, melontarkan kritik keras terhadap pelaksanaan Pemilu dan Pilkada yang dianggap penuh dengan permasalahan. Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Mendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP di Gedung Parlemen Senayan, Kamis (27/2/2025), ia menyoroti banyaknya pelanggaran dalam proses demokrasi di Indonesia.
Deddy mengungkapkan bahwa hampir 60% dari total Pilkada di Indonesia mengalami masalah serius. Menurutnya, hal ini membuktikan bahwa Pemilu di bawah pemerintahan sebelumnya adalah yang paling buruk dalam sejarah.
“Sekali lagi terbukti apa yang diributkan orang selama ini, bahwa pemilu kita di bawah pemerintahan sebelumnya adalah pemilu paling berengsek dalam sejarah,” tegasnya.
Ia menyebutkan, dari 545 daerah yang melaksanakan Pilkada, sebanyak 310 memiliki putusan terkait pelanggaran. Angka tersebut, kata Deddy, bukan berarti daerah lain bersih dari masalah, melainkan banyak kasus yang tidak diproses karena berbagai alasan.
“Dari 235 daerah lainnya, sebagian besar mungkin tidak dipersoalkan karena masyarakat sudah lelah, atau pelanggarannya terlalu masif sehingga sulit dibuktikan,” ujarnya.
Deddy juga menyoroti beban anggaran yang harus ditanggung negara akibat kelalaian penyelenggara Pemilu. Ia mempertanyakan mengapa rakyat kembali harus membayar lebih dari Rp1 triliun hanya untuk membiayai pemilihan ulang akibat kesalahan administratif dan teknis.
“Sekarang rakyat disuruh bayar lagi Rp1 triliun buat kelalaian kita semua. Yang benar saja, tanggung jawab kita di mana?” katanya dengan nada geram.
Selain itu, ia menyoroti masalah administratif yang berulang setiap kali pemilu, seperti verifikasi ijazah dan masa jabatan. Menurutnya, seharusnya penyelenggara Pemilu dapat bekerja lebih baik agar kesalahan serupa tidak terjadi terus-menerus.
“Masa iya urusan remeh-temeh seperti ijazah palsu dan masa jabatan kita terus masuk lubang yang sama? Ini soal kualitas, secara administratif saja kita gagal, bagaimana secara substantif?” tambahnya.
Deddy memperingatkan bahwa jika penyelenggaraan Pemilu terus bermasalah, maka dampaknya akan sangat buruk bagi sistem pemerintahan. Kepala daerah yang dipaksa bertarung kembali dalam pemilihan ulang harus mencari dana tambahan, yang pada akhirnya dapat berujung pada praktik korupsi.
“Minjam, jual, gadai. Besok-besok korupsi semua. Yang salah siapa? Kita! Karena kita tidak melaksanakan tanggung jawab dengan baik,” ujarnya dengan nada tinggi.
Lebih lanjut, ia menuding bahwa lemahnya pengawasan dari Bawaslu dan DKPP menjadi salah satu penyebab maraknya pelanggaran. Menurutnya, jika semua lembaga pengawas bekerja dengan baik, maka potensi kecurangan dapat diminimalisir.
“Tidak akan ada gugatan jika semuanya bekerja dengan benar. Tidak akan ada yang masif kalau Pj-nya punya marwah, kalau Bawaslu dan DKPP bekerja dengan benar,” tegasnya.
Deddy juga menegaskan bahwa permasalahan dalam Pemilu bukan sekadar soal anggaran, tetapi juga menyangkut peradaban demokrasi di Indonesia. Ia mempertanyakan warisan apa yang akan ditinggalkan kepada generasi mendatang jika sistem pemilu terus bermasalah.
“Ini bukan cuma soal anggaran, tapi soal peradaban. Apa yang mau kita wariskan? Mau terus seperti ini?” tanyanya.
Menurutnya, situasi ini akan terus berulang jika tidak ada perbaikan sistemik. Ia mengingatkan bahwa di beberapa daerah, Pemilu bahkan harus dilakukan tiga kali akibat berbagai permasalahan yang tidak kunjung selesai.
“Siapa yang jamin PSU pertama tidak akan berlanjut ke PSU kedua atau ketiga? Kita pernah mengalami tiga kali PSU di Maluku Utara. Ini gila,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Deddy juga mengkritik mahalnya biaya politik di Indonesia. Menurutnya, jika sistem pemilu tidak diperbaiki, maka ke depan hanya mereka yang memiliki modal besar yang bisa bertarung dalam kontestasi politik.
“Kalau kita tidak melakukan koreksi, besok-besok jadi anggota DPR itu perlu Rp50-100 miliar. Ini yang kita mau?” ujarnya.
Deddy pun menyerukan agar para penyelenggara Pemilu, termasuk KPU dan Bawaslu, mengambil tanggung jawab penuh atas permasalahan yang terjadi. Ia menilai, jika mereka tidak merasa bersalah, maka tidak ada lagi harapan bagi demokrasi di Indonesia. “
Kalau Ketua KPU enggak merasa bersalah, enggak tahu lagi saya. Kalau Bawaslu merasa tidak ada kesalahan di pihaknya, saya bingung,” katanya.
Sebagai bentuk tanggung jawab, ia bahkan menyatakan kesiapannya untuk mundur dari jabatannya sebagai anggota DPR jika diperlukan.
“Kalau perlu kita mundur berjamaah. Saya siap mundur demi tanggung jawab kita kepada negara ini,” pungkasnya (RED).
Discussion about this post