JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) DPR yang disahkan dalam rapat paripurna menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Koordinator Nasional Kawal Pemilu dan Demokrasi (KPD), Miftahul Arifin, yang menyoroti potensi penyalahgunaan kewenangan dalam aturan baru tersebut.
Pasal 228A yang ditambahkan dalam revisi tersebut memberikan DPR kewenangan untuk mengevaluasi pejabat di lembaga atau institusi yang telah ditetapkan melalui rapat paripurna. Menurut Miftahul, proses revisi ini terkesan tergesa-gesa dan minim keterlibatan publik.
“Proses revisi tatib DPR tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik. Pengesahannya dilakukan terburu-buru, hanya dalam waktu kurang dari 4 jam dan langsung disahkan dalam Rapat Paripurna,” ujarnya, Kamis (6/2/2025).
Selain itu, ia mempertanyakan dasar hukum dari kewenangan tambahan ini, mengingat lembaga seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah memiliki mekanisme pemberhentian sendiri yang diatur dalam undang-undang.
“Jika DPR diberikan wewenang untuk mengevaluasi pejabat di lembaga-lembaga independen, akan terjadi tumpang tindih fungsi dan ini bisa mengancam independensi lembaga yang bersangkutan,” jelasnya.
Miftah juga mengingatkan bahwa perubahan regulasi yang berpotensi melanggar konstitusi atau mengurangi hak-hak dasar suatu lembaga harus dihindari agar tidak menimbulkan konflik kepentingan antara institusi negara.
Menurutnya, DPR sebaiknya fokus pada tiga fungsi utamanya, yakni legislasi, penganggaran, dan pengawasan, daripada memperluas kewenangan yang justru berisiko menimbulkan benturan kepentingan dengan lembaga lain.
“Jika DPR ingin memperbaiki sistem rekrutmen pejabat di lembaga yang melibatkan mereka, lakukan perbaikan prosedur seleksi tanpa mencampuri urusan internal lembaga lain,” tegasnya.
Perubahan Tatib DPR ini menjadi perhatian banyak pihak karena dinilai dapat digunakan sebagai alat politik untuk mengintervensi lembaga negara yang seharusnya independen. Kritik dari berbagai elemen masyarakat pun terus bermunculan menyoroti urgensi dan dampak dari revisi ini.
Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari DPR RI terkait kritik yang disampaikan oleh berbagai pihak, termasuk dari kelompok pemantau demokrasi seperti KPD. Namun, desakan untuk meninjau ulang revisi tersebut semakin menguat di kalangan publik dan pemerhati hukum (RED).
Discussion about this post