AMERIKA, RADIANTVOICE.ID – Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX, berpeluang besar untuk mengisi posisi baru dalam kabinet jika Donald Trump kembali menduduki kursi presiden Amerika Serikat. Musk yang sering mengkritik pemborosan anggaran pemerintah, diproyeksikan akan memimpin “Departemen Efisiensi Pemerintah,” sebuah gagasan yang dicetuskan Trump untuk memangkas anggaran negara secara signifikan.
“Uang Anda terbuang sia-sia, dan Departemen Efisiensi Pemerintah akan mengatasi masalah ini,” ujar Musk pada kampanye Trump di Madison Square Garden, akhir pekan lalu sebagaimana dipetik dari Aljazeera.
Sikap Musk yang vokal mengenai anggaran negara menarik perhatian di tengah ketidakpuasan publik atas belanja pemerintah yang kerap dianggap tidak efisien.
“Kami akan membuat pemerintah berhenti mengganggu kehidupan dan dompet Anda,” kata Musk, merujuk pada niatnya untuk memotong anggaran sebesar $2 triliun, atau hampir sepertiga dari anggaran federal tahun lalu sebesar $6,75 triliun. Rencana ini diperkirakan akan memerlukan pemotongan di sektor sensitif seperti kesehatan, jaminan sosial, dan pertahanan, yang biasanya sulit dipangkas karena resistensi politik.
Dukungan Musk terhadap reformasi anggaran ini didasarkan pada ketidakpuasannya terhadap mekanisme pengeluaran pemerintah. Langkah ini menuai perhatian para ahli yang mempertanyakan efektivitasnya. Profesor Bruce Schulman dari Boston University menilai bahwa inisiatif reformasi seperti ini sering kali hanya menjadi “pertunjukan politik” tanpa dampak signifikan.
“Upaya-upaya ini lebih cenderung untuk pertunjukan politik daripada memberikan dampak nyata pada efisiensi anggaran,” jelas Schulman sebagaimana dilansir dari Aljazeera.
Masuknya Musk ke pemerintahan juga mengundang skeptisisme dari pakar etika John Pelissero dari Santa Clara University. Menurut Pelissero, Musk tidak memiliki pengalaman di sektor publik, yang bisa menghambat upayanya memimpin reformasi efisiensi pemerintahan.
“Tanpa pengalaman dalam pemerintahan, kredibilitasnya untuk memimpin departemen yang fokus pada efisiensi pemerintah patut dipertanyakan,” ujar Pelissero.
Selain itu, rekam jejak bisnis Musk sendiri tidak lepas dari kontroversi. Sejak mengakuisisi platform X (sebelumnya Twitter) dengan nilai $44 miliar, nilai perusahaan tersebut anjlok sekitar 80 persen karena ditinggalkan pengiklan. Perusahaannya, SpaceX, juga sempat ditegur oleh Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA) terkait dugaan pencemaran di sekitar markas mereka di Texas. Terlepas dari kontroversi tersebut, Musk tetap menjadi tokoh populer dalam bisnis dengan pengaruh yang kuat di dunia teknologi.
Musk bahkan mengaku siap menghadapi potensi risiko ekonomi akibat pemotongan besar-besaran anggaran. Ia menyetujui sebuah prediksi yang menyebut pasar akan mengalami “reaksi berlebihan” dan berpotensi tumbang sebagai efek samping dari kebijakan tersebut. “Sounds about right,” jawab Musk menanggapi prediksi itu di platform X.
Selain masalah efisiensi anggaran, keterlibatan Musk dalam pemerintahan juga dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan, mengingat perusahaan-perusahaannya memiliki kontrak besar dengan pemerintah AS. SpaceX sendiri telah menerima lebih dari $15 miliar untuk proyek-proyek peluncuran satelit dan misi NASA.
“Musk sebaiknya mempertimbangkan untuk melepas asetnya di perusahaan-perusahaan tersebut sebelum masuk pemerintahan,” kata Pelissero sebagai saran.
Dengan posisinya sebagai salah satu pengusaha paling berpengaruh, pengaruh Musk diperkirakan tetap kuat dalam pemilu kali ini. Menurut Daniel Krcmaric, profesor ilmu politik dari Northwestern University, sumbangan besar Musk untuk kampanye Trump mencerminkan kekuatan elite bisnis AS dalam mempengaruhi politik.
“Semua taktik ini bagian dari strategi yang lebih luas untuk mengarahkan pemilu sesuai dengan kepentingannya,” ungkap Krcmaric (RED).
Discussion about this post