JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Mantan calon anggota legislatif (caleg) DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhamad Zainul Arifin, mengajukan permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini berfokus pada pembatasan masa jabatan anggota legislatif, di mana Zainul mengusulkan pembatasan dua periode, serupa dengan masa jabatan presiden.
Permohonan ini diajukan pada Rabu (23/10), dan Zainul menyoroti dominasi “wajah lama” dalam parlemen yang menurutnya menutup peluang bagi politisi baru. Dia menilai bahwa tanpa pembatasan periode, kursi parlemen cenderung diisi oleh calon legislatif petahana, yang telah lama berada di posisi tersebut. “Pemilihan legislatif ini didominasi oleh para caleg petahana. Berdasarkan data CSIS, sekitar 56,4% anggota DPR terpilih merupakan caleg yang pernah duduk di DPR sebelumnya, sementara pendatang baru hanya sekitar 43,6%,” jelas Zainul dalam gugatannya.
Zainul mencatat, fenomena ini berdampak buruk terhadap iklim demokrasi di Indonesia. Menurutnya, ketidakseimbangan ini menyebabkan kesulitan bagi calon baru untuk bersaing dengan calon petahana. “Dalam pencalonan ini, saya harus bersaing dengan mereka yang sudah bertahun-tahun duduk di kursi DPR. Ada ketimpangan yang signifikan,” ujarnya.
Situasi ini, lanjut Zainul, menciptakan ketidakpastian hukum terkait periodesasi jabatan anggota DPR, yang seharusnya memiliki batas waktu yang jelas. Menurutnya, ketidakpastian tersebut mengakibatkan kekurangan pembaruan di dalam lembaga legislatif. “Tanpa batasan periode, seorang anggota DPR dapat duduk di kursi yang sama hingga akhir hayatnya. Hal ini jelas merugikan saya secara konstitusional dan menciptakan sistem yang kurang adil,” ungkapnya.
Dalam petitumnya, Zainul meminta MK untuk menyatakan sejumlah pasal dalam UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945, jika tidak dimaknai adanya batasan dua periode untuk anggota DPR. Dia juga menyoroti bahwa UU MD3 saat ini hanya mengatur masa jabatan anggota DPR berlangsung lima tahun tanpa pembatasan berapa kali seorang anggota bisa mencalonkan diri kembali. “Ketentuan ini jelas mengandung ketidakpastian hukum, karena memungkinkan seseorang tetap duduk di parlemen meski sudah berkali-kali mencalonkan diri,” tutupnya (RED).
Discussion about this post