JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pengajian Al-Hidayah bersama dengan Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam (DPP GUPPI) menggelar Webinar Pendidikan bertajuk Strategi Mengatasi Disparitas Gender di Bidang Pendidikan untuk Mewujudkan Generasi Emas 2045 secara daring pada Sabtu (28/9/24).
Hadir sebagai pembicara dalam webinar ini Fasli Jalal (Ketua Umum DPP GUPPI), Amich Alhumami (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas) dan Iin Kandedes (Sekjen DPP Pengajian Al-Hidayah) dan dimoderatori oleh Dr. (c) Marnarita Yarsi. Seminar ini membahas tantangan dan peluang dalam mencapai kesetaraan gender, serta peran pendidikan dalam pemberdayaan perempuan.
Ketua Panitia Webinar Pendidikan ini, Endah Cahya Immawati, menyampaikan bahwa kegiatan ini dilakukan secara daring melalui zoom dan disiarkan secara langsung via youtube yang diikuti oleh 637 peserta yang berasal dari seluruh komponen Pengajian Al Hidayah dari Pusat sampai Kabupaten/Kota, Pengurus dan Anggota GUPPI, Seluruh organsiasi anggota KOWANI, seluruh organisasi anggota BMIWI, dan segenap Civitas Akademika Kampus dari sabang sampai merauke.
“Harapan dari Webinar ini, seluruh komponen khususnya perempuan dapat berkolaborasi mendorong peningkatan kualitas, partisipasi, akses, kontrol dan manfaat pembangunan terhadap perempuan sehingga terwujud keadilan dan kesetaraan gender di dalam bidang pendidikan pada khususnya dan semua sektor pada umumnya,”ujar Endah.
Sebagai pembicara pertama, Iin Kandedes memaparkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia saat ini sedang berada di puncak demografi, di mana Generasi Z mendominasi dengan 27,94% dari total penduduk. Angka ini memberikan peluang besar bagi ekonomi dan pembangunan bangsa, terutama karena Indonesia memiliki populasi usia produktif terbesar di Asia, dengan sekitar 191 juta jiwa atau 70,72%.
“Namun, dalam peta SDM ini, keterlibatan perempuan masih belum sepenuhnya setara dengan laki-laki,”ungkap Iin.
Iin juga menyoroti indicator ketimpangan pada tingkat partisipasi angkatan kerja di mana perempuan hanya berkontribusi sebesar 53,41% dibandingkan laki-laki yang mencapai 83%.
“Hal ini menunjukkan masih banyak tantangan yang perlu diatasi untuk mencapai kesetaraan gender yang ideal di Indonesia,”kata Iin.
Sementara itu, Fasli Jalal menyoroti pentingnya model kepemimpinan setara di sekolah-sekolah. Menurutnya, model kepemimpinan yang setara di sekolah, dapat membuat siswa melihat bahwa menjadi pemimpin tidak terbatas pada jenis kelamin tertentu. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa menjadi pemimpin.
“Ini sangat penting dalam membentuk pandangan murid-murid tentang kesetaraan gender,”ujarnya.
Fasli Jalal juga menerangkan, dalam sektor pekerjaan, perbedaan gender masih terlihat jelas, terutama di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika). Hanya separuh, atau bahkan kurang dari separuh perempuan yang bekerja di bidang ini dibandingkan laki-laki. Ini menunjukkan, katanya, perempuan perlu diberikan beasiswa dan dukungan untuk mendorongnya agar tertarik dan berpartisipasi di bidang STEM.
“Dengan perkembangan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) dan big data, bidang ini akan semakin penting, dan kita membutuhkan lebih banyak perempuan yang ahli dalam bidang ini,”ungkapnya.
Adapun Amich Alhumami menyoroti capaian pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan. Secara umum,katanya, capaian pendidikan mereka hampir sama di semua jenjang, tetapi di tingkat menengah dan tinggi, anak perempuan mulai melampaui anak laki-laki.
“Namun, di tingkat menengah, terdapat perbedaan dalam penyelesaian pendidikan. Hanya 37% anak perempuan yang menyelesaikan pendidikan, sementara angka untuk anak laki-laki mencapai 42%. Perbedaan ini dipengaruhi oleh persepsi keluarga terkait ekonomi. Banyak keluarga yang memilih anak perempuan untuk berhenti sekolah demi membantu orang tua mencari nafkah, terutama karena beasiswa tidak selalu tersedia untuk semua anak,”ujar Amich.
Meskipun partisipasi perempuan di pendidikan tinggi lebih tinggi, tambah Amich, ketika mereka masuk ke pasar kerja, terutama di sektor formal, terjadi ketertinggalan. Amich menyebut faktor keluarga, kebijakan publik, serta fasilitas yang tersedia bagi pekerja perempuan menjadi alasan utama ketertinggalan ini.
“Diperlukan kebijakan publik yang mendukung perempuan untuk tetap berkarir di sektor profesional, termasuk menyediakan fasilitas yang memungkinkan mereka menjalankan peran ganda, baik di rumah maupun di tempat kerja. Intervensi kebijakan yang mendorong lembaga pemerintah dan swasta untuk memberikan fasilitas ini sangat dibutuhkan,”ujar Amich.
Di akhir seminar, Ketua Umum DPP Pengajian Al-Hidayah, Hetifah Sjaifudian menggarisbawahi peran pendidikan dalam memberdayakan perempuan. Ia mengajak semua peserta webinar untuk aktif mendukung pendidikan perempuan sebagai kunci kemajuan bangsa. Hetifah menekankan bahwa pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu, tetapi juga pemberdayaan yang lebih luas, dan mendorong semua pihak untuk berkolaborasi dalam menciptakan kebijakan yang mendukung perempuan, termasuk dalam akses beasiswa.
“Webinar ini menjadi sumber inspirasi dan amunisi bagi kita untuk memperdalam pemahaman bahwa pendidikan bagi perempuan adalah kunci kemajuan bangsa. Jika perempuan maju, maka bangsa juga akan maju,”kata Hetifah.
Hetifah juga menyoroti salah satu isu penting dalam dunia pendidikan, yakni terkait dengan pemberian beasiswa. Menurutnya, saat ini ada batasan usia 35 tahun untuk perempuan yang ingin mendapatkan beasiswa. Padahal, banyak perempuan yang harus mengurus keluarga terlebih dahulu dan baru bisa melanjutkan pendidikan setelah berusia di atas 40 tahun.
“Batasan usia seperti ini harus menjadi perhatian, karena bisa menghalangi akses pendidikan bagi perempuan yang ingin kembali belajar di usia yang lebih matang,”pungkas Hetifah (RED)
Discussion about this post