Oleh : Fathorrahman Fadli*
Politik nasional Indonesia saat ini telah menuju titik terendahnya. Padahal, sejatinya politik itu adalah pekerjaan yang mulia; berembug bersama untuk duduk bersama, bermusyawarah mengambil keputusan untuk kepentingan rakyat banyak. Bagaimana caranya rakyat hidup aman, tertib dan sejahtera. Bukan membuat keputusan yang membuat rakyat menjadi susah hidupnya, sulit mencari pekerjaan, banyak pengangguran, pabrik tutup karena kalah bersaing dengan pembiaran pemerintah dalam memasukkan barang impor atau negara lain.
Padahal, anak semester satu saja paham, jika membanjirnya barang impor itu akan berakibat pada lesunya ekonomi nasional. Sebab secara ekonomi, bisnis barang-barang lokal akan mendapat saingan dari barang-barang impor yang tentunya lebih murah. Sebab barang impor itu diproduksi secara efisien dan efektif serta masif. Maka mereka bisa menjual dengan harga lebih murah, mungkin juga lebih berkualitas.
Jika banyak masyarakat kita membeli barang impor, itu berarti market share barang-barang yang sejenis akan dikuasai oleh barang-impor pastinya. Oleh karena itu barang kita tidak bisa bersaing dipasar, di negeri sendiri, dan akhirnya tutup. Kalau pabrik sudah tutup, kemiskinan meningkat karena banyak pengangguran. Jika rakyat banyak menganggur, maka kejahatan akan meningkat dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat kaya pun akan ketakutan dan tidak nyaman karena kuatir kejahatan akan menimpa diri mereka.
Ini adalah nalar yang logis belaka. Namun faktanya, nalar logis yang sederhana ini, tidak ada dalam pikiran para elite pengambil kebijakan kita dewasa ini. Mereka ribut dengan sesama elit, ribut bagi-bagi kursi kekuasaan, namun setelah kuasa itu mereka pegang, tetap saja mereka sibuk dengan kepentingan mereka masing-masing.
Sedih nian nasib bangsa Indonesia ini. Gaji pejabatnya sudah tinggi menyundul langit, masih juga tak peduli atas nasib rakyatnya yang kelaparan, stunting karena kurang gizi. Gizi buruk selama 10 tahun dibawah pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (2014-2019) dan Joko Widodo Ma’ruf Amin (2019-2024 ) ini sungguh membuat rakyat semakin menderita.
Mari kita lihat data stunting di negeri ini. Pemerintah Indonesia menargetkan prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2024 turun hingga 14%.
Stunting adalah kondisi di mana tinggi badan anak berada di bawah minus 2 standar deviasi (SD) grafik pertumbuhan WHO. Stunting dapat terjadi sejak bayi masih berada dalam kandungan, namun umumnya terjadi pada balita, khususnya usia 1-3 tahun.
Prevalensi stunting di Indonesia cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022, berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), angka stunting di Indonesia adalah 21,6%. Angka ini turun dari tahun 2021 yang sebesar 24,4%. Namun, upaya besar masih diperlukan untuk mencapai target penurunan stunting pada tahun 2024.
Kalau melihat fenomena stunting ini, rasa-rasanya pemerintah sebagai unsur negara yang disuruh mengurus kesejahteraan rakyatnya pastilah ada yang tidak beres dalam otak presiden dan kabinetnya. Artinya, presidennya gagal total mengurus rakyatnya menjadi sejahtera. Lalu selama 10 tahun itu apa yang dikerjakan oleh pemerintah? Kok rakyatnya bisa stunting? Mengapa stunting bisa terjadi di negara yang sangat kaya raya ini?
Tetapi, mengapa elite politiknya kaya raya dan hidup foya-foya?
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Development Research-IDR
Discussion about this post