JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Wacana perubahan subsidi KRL Jabodetabek menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) semakin mencuat. Pemerintah melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 sedang mengkaji langkah ini. Selama ini, masyarakat Jabodetabek menikmati tarif KRL yang terjangkau berkat skema Public Service Obligation (PSO), namun apa yang terjadi jika PSO dihapus?
Tarif KRL saat ini ditetapkan sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2016, yakni Rp 3.000 untuk 25 kilometer pertama dan Rp 1.000 untuk 10 kilometer berikutnya. Namun, tanpa PSO, berapa tarif sebenarnya yang harus dibayar penumpang KRL?
Pengamat transportasi Deddy Herlambang menjelaskan bahwa biaya perjalanan KRL tanpa PSO bisa mencapai Rp 25.000 per 25 kilometer. “Jika tidak ada PSO, masyarakat harus membayar penuh biaya operasional KRL. Saat ini, selisih harga tersebut ditanggung pemerintah sebagai kewajiban publik,” ujarnya sebagaimana dilansir Detik Finance.
Pemerintah menganggap besaran PSO yang mencapai Rp 22.000 per penumpang terlalu besar, meskipun ini adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Namun, apakah masyarakat siap membayar tarif yang jauh lebih tinggi?
Menurut Deddy, jumlah penumpang sangat mempengaruhi biaya operasional KRL. Semakin sedikit penumpang, semakin tinggi biaya yang harus ditanggung per orang. “Saat pandemi, misalnya, tarif normal bisa mencapai Rp 30.000 per penumpang karena jumlah penumpang menurun drastis,” jelasnya.
Masyarakat kini menunggu kejelasan dari pemerintah terkait perubahan sistem PSO. Jika skema subsidi diubah menjadi berbasis NIK, pertanyaan terbesar adalah bagaimana dampaknya terhadap tarif KRL dan kemampuan daya beli masyarakat (RED).
Discussion about this post