JAKARTA, RADIANTVOICE.ID – Pemerintah berencana mengubah skema subsidi untuk Kereta Rel Listrik (KRL) dengan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai basis penerima. Selama ini, masyarakat Jabodetabek menikmati tarif KRL dengan bantuan subsidi PSO, tetapi jika subsidi ini dihapus, daya beli masyarakat terhadap tarif asli KRL patut dipertanyakan.
Saat ini, penumpang KRL hanya membayar Rp 3.000 untuk 25 kilometer pertama, sementara tarif normal tanpa subsidi disebut-sebut mencapai Rp 25.000 per 25 kilometer.
“Ini bukan subsidi biasa, tapi PSO, yaitu tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan transportasi umum terjangkau bagi masyarakat,” ungkap Deddy Herlambang, pengamat transportasi sebagaimana dilansir Detik Finance.
Jika PSO dihapus, biaya perjalanan KRL akan memberatkan banyak penumpang, terutama mereka yang bergantung pada KRL sebagai moda transportasi utama.
“Biaya ini mencerminkan biaya operasional yang harus ditanggung penuh oleh penumpang jika subsidi ditiadakan,” jelas Deddy.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah daya beli masyarakat Jabodetabek akan mampu menyesuaikan dengan tarif asli KRL? Mengingat banyak dari mereka adalah pekerja dengan penghasilan menengah ke bawah, kenaikan tarif akan berdampak signifikan terhadap pengeluaran harian mereka.
Selain itu, perubahan skema subsidi berbasis NIK juga dapat menimbulkan tantangan administratif. Apakah pemerintah siap mengelola data jutaan pengguna KRL dan memastikan subsidi tepat sasaran? Ini menjadi isu penting yang harus diantisipasi sebelum kebijakan ini diterapkan.
Deddy juga menambahkan bahwa jumlah penumpang mempengaruhi besar kecilnya subsidi yang diperlukan.
“Jika jumlah penumpang turun, seperti saat pandemi, biaya per penumpang akan meningkat, membuat subsidi lebih mahal untuk pemerintah,” tutupnya (RED).
Discussion about this post